IJTI Dan AJI Kecam Kekerasan Terhadap Jurnalis Pada Aksi 112

Media Selayar
Minggu, 12 Februari 2017 | 07:19 WIB Last Updated 2020-05-07T05:22:13Z
jurnalis
Ils.
MEDIA SELAYAR. Kekerasan terhadap jurnalis televisi kembali terjadi pada aksi 112 kemarin yang berlangsung di Jakarta. Hal ini mendapat sorotan dan kecaman publik khususnya dari Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI). IJTI mengecam kekerasan yang dilakukan oleh sejumlah oknum terhadap jurnalis Metro TV dan Global TV saat melaksakan tugas jurnalinya, meliput Aksi Damai 112. Akibatnya kedua jurnalis yang menjadi korban mengalami trauma dan luka-luka.

Ketua Umun IJTI, Yadi Hendrayana dalam keterangan tertulis yang diterima, Sabtu, (11 /2) ada dua peristiwa hukum dalam insiden ini. Pertama, terkait pemukulan sebagai delik umum yang legal standing-nya berada pada korban langsung, bukan pada perusahaan.

Kedua terkait penghalangan kerja sebagaimana diancam Pasal 18 ayat (1) UU Pers, hal ini mengacu pada Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) yang legal standing-nya ada pada perusahaan pers.

IJTI mengimbau semua pihak agar menghormati profesi jurnalis. Dia mengingatkan, wartawan bekerja dilindungi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sementara itu Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta ikut mengecam keras intimidasi dan kekerasan yang diduga dilakukan oleh oknum peserta Aksi 112 terhadap dua jurnalis Metro TV dan satu dari Global TV di lingkungan Masjid Istiqlal, Jakarta Pusat, pada Sabtu (11/2).

AJI mendorong jurnalis korban dan perusahaan persnya untuk melaporkan kasus kekerasan itu ke kepolisian. Kasus ini harus diusut hingga tuntas sehingga kekerasan terhadap jurnalis tidak berulang.

Ketua AJI Jakarta, Ahmad Nurhasim dalam siaran persnya, Sabtu (11/2). bahwa tindakan intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis yang melakukan kegiatan jurnalistik karena bertentangan dengan Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Tindakan kekerasan terhadap jurnalis jelas melawan hukum dan mengancam kebebasan pers,” kata Ahmad.

Tindakan kekerasan ini mencerminkan pelaku tidak menghargai dan menghormati profesi jurnalis. Padahal jurnalis dilindungi oleh UU Pers dalam melaksanakan kegiatan jurnalistik yang meliputi mencari bahan berita, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, hingga menyampaikan informasi yang didapat kepada publik.

Pasal 8 UU Pers dengan jelas menyatakan dalam melaksanakan profesinya jurnalis mendapat perlindungan hukum. Pers mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, dan kontrol sosial, seperti diatur pasal 3. AJI Jakarta menyatakan, tekanan dan tindakan kekerasan akan menghalangi hak publik untuk memperoleh berita yang akurat dan benar karena jurnalis tidak bisa bekerja dengan leluasa di lapangan. 

Kasus kekerasan itu bermula saat dua jurnalis Metro TV, Desi Bo (reporter) dan Ucha Fernandes (kameraman), sedang meliput aksi 11 Februari 2017 atau Aksi 112 sekitar pukul 11.00 WIB sekitar Masjid Istiqlal. Karena mengetahui kedua jurnalis dari Metro TV, tiba-tiba dari kerumunan massa mengusir mereka.

Dari keterangan yang dikumpulkan oleh AJI Jakarta, kedua jurnalis Metro TV saat itu mengambil gambar di depan pintu masuk Al Fatah Masjid Istiqlal di sisi timur laut, seberang Gereja Katedral. Belum sempat masuk, terdengar suara dari belakang “Usir Metro TV… usir Metro TV.”

Keduanya digiring oleh massa dan dicaci maki, diintimidasi, dan disuruh keluar dari lingkungan masjid. Ucha Fernandes diduga dipukuli di bagian perut, leher, dan kaki. Sedangkan kepala Desi diduga dipukul menggunakan bambu dan terluka. Setelah babak belur, keduanya bisa dikeluarkan dari kerumuman massa.

Juru kamera Global TV Dino juga diduga diintimidasi saat meliput aksi tersebut. Dia dituduh tidak sopan saat menyebut nama pemimpin Front Pembela Islam Rizieq Sihab, tanpa menyertakan sebutan Habib. Massa memaksa dia untuk menambahkan kata “Habib” saat menyebut Rizieq Shihab. Kasus lainnya yakni Jumat malam, 10 Februari 2017, mobil Kompas TV diusir oleh oknum massa Aksi 112 dari lingkungan Masjid Istiqlal.

Menurut Koordinator Divisi Advokasi AJI Jakarta Erick Tanjung, selain bisa dijerat dengan pasal pidana KUHP, pelaku intimidasi dan kekerasan terhadap jurnalis bisa dijerat pasal 18 UU Pers.

Sebab, mereka diduga secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalang-halangi kemerdekaan pers dan kerja-kerja jurnalistik. Ancamannya hukuman dua tahun penjara atau denda Rp 500 juta.

“Karena itu, kami mendorong jurnalis yang menjadi korban dan perusahaan pers melaporkan tindakan kekerasan ini ke kepolisian,” ujar Erick.

Dia mengatakan, kekerasan terhadap jurnalis berulang karena pelaku dalam kasus sebelumnya tidak diadili.

Anggota masyarakat seharusnya tidak main hakim sendiri. Bila keberatan dengan pemberitaan di media, gunakan mekanisme protes secara beradab dengan cara melaporkan media ke Dewan Pers.

AJI mengimbau jurnalis mentaati kode etik jurnalistik dan bekerja profesional. AJI juga mengimbau untuk mengutamakan keselamatan saat meliput aksi massa yang berpotensi konflik dan tidak menghargai para jurnalis. (@)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • IJTI Dan AJI Kecam Kekerasan Terhadap Jurnalis Pada Aksi 112

Trending Now

Iklan