MEDIA SELAYAR. Agunan Bukan Komoditas, Bank itu sebuah lembaga keuangan yang eksistensinya tergantung mutlak pada kepercayaan nasabah dalam menyimpan dananya. Sebagai sub dari sistem keuangan, masyarakat luas sangat berkepentingan terhadap sehat dan optimal bekerjanya sistem keuangan itu.
Karena itulah, sebuah bank sangat berkepentingan agar kepercayaan publik terpelihara dengan baik.
Dengan demikian, bagi bank sangat jelas, kepercayaan masyarakat kepada bank, merupakan salah satu unsur pokok demi menjaga eksistensinya.
Itu ditandaskan Sekjen DPP Lembaga Investigasi dan Monitoring (LIMIT), Ir Mulyadi kepada Upeks, Rabu (2/6).
Dikemukakannya, untuk membangun kepercayaan, salah satu langkah strategis dengan mematuhi UU Nomor 10/1998 tentang perbankan.
Pasal 8 ayat (1) menegaskan, dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, bank umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis mendalam atas itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan sesuai perjanjian.
Selanjutnya, pasal 10 huruf c menegaskan, bank umum dilarang melakukan usaha lain, diluar kegiatan usahanya.
Menyinggung kredit macet di Makassar, Mulyadi yang juga alumni Universitas Airlangga Surabaya itu mencontohkan, salah satu hotel besar di Makassar, sebenarnya jauh sebelumnya memang sudah macet.
Namun sangat disayangkan, jika agunan hotel tersebut dijadikan suatu komoditas.
Pertimbangannya, pasal 12 ayat (1) UU No 10/1998 menegaskan, bank umum dapat membeli sebagian atau seluruh agunan.
Baik melalui pelelangan maupun diluar pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukrela pemilik agunan, dalam hal nasabah debitur tidak memenuhi kewajibannya. Syaratnya, agunan yang dibeli wajib dicairkan secepatnya.
Dikemukakannuya, esensi pasal 12 tersebut, untuk menjaga kepentingan nasabah lain yang mempercayakan dananya kepada bank umum yang setiap saat dapat saja nasabah menarik jumlah banyak.
Dikemukakannuya, esensi pasal 12 tersebut, untuk menjaga kepentingan nasabah lain yang mempercayakan dananya kepada bank umum yang setiap saat dapat saja nasabah menarik jumlah banyak.
Dengan demikian, tentunya bank telah diap, bukan sebaliknya justru menikmati keuntungan dari agunan yang sudah saatnya dicairkan. Mengutip pandangan Prof Dr Sutan Remy Sjahdeini SH, Mulyadi menandaskan, bank itu bagian dari sistem keuangan dan sistem pembayaran negara.
Bahkan diera globalisasi, bank menjadi bagian sistem keuangan dan sistem pembayaran dunia.
Itulah sebabnya, lanjut Mulyadi, kepentingan masyarakat menjaga eksistensi suatu bank sangatlah penting.
Terlebbih lagi jika kita mengenang, ambruknya bank akan mempunyai akibat rantai (domino effect), karena menular pada bank lain.
Ramainya media melansir kredit macet baru-baru ini yang berbuntut pelelangan jaminan kredit cukup menarik perhatian publik. Problem makin menarik, ketika dibalik kredit macet itu terdapat indikasi kuat adanya faktor kesengajaan dimacetkan (bedrog).
Artinya, jika faktor kesengajaan itu mampu dibuktikan, sebuah isyarat adanya mafia perbankan yang tutut bermain. Untuk mengantisipasi praktik demikian itu, salah satu solusi yang terbilang jitu, perlunya perbankan menerapkan prinsip kehati-hatian.
Pertimbangannya, hasil kajian LIMIT mensinyalir ada kredit sengaja dimacetkan. Tujuannya, demi mendapatkan keuntungan dari harga yang telah diketahui sebelum tim taksasi menetapkan penilain objek sitaan.
Selanjutnya, berdasarkan ''harga miring'' itu pihak perbankan mencari pembeli diatas harga semestinya. Setidaknya mencari keuntungan dibalik kerugian negara. Sedihnya lagi, jika proses pembeliannya, tidak mencakup atas hak negara (pajak) dan Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Praktik demikian, ungkap Mulyadi, jelas masuk kategori tindak pidana yang dilakonkan kelompok tertentu yang dalam mafia perbankan dikenal dengan istilah Power Ranger.
''Hal yang memprihatinkan lagi, jika praktik demikian itu terjadi di bank pemerintah. Sebuah gambaran betapa lemahnya sistem pengawasan,'' tegas Mulyadi. (arf)