Organisasi ini sudah sejak 1999 memantau Pemilu dari kemungkinan kecurangan-kecurangan. Menurut Jeirry Sumampow, Undang-Undang (UU) No.10/2008 tentang Pemilu Legislatif merupakan UU terjelek dibandingkan dengan UU Pemilu yang pernah kita pakai sebelumnya.
Banyak hal-hal didalamnya yang bertentangan. Jika membaca UU itu dengan teliti, isi UU tersebut dengan sangat transparan terlihat merupakan kompromi politik. Hal ini dalam beberapa hal juga berpengaruh pada persiapan tahapan-tahapan Pemilu oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebaliknya, Jeirry Sumampow juga mengkritik KPU karena dalam melaksanakan tahapan-tahapan Pemilu banyak yang tidak terlaksana sesuai standar yang diinginkan. Sejak tahapan awal terjadi sudah masalah di KPU.
Dalam hal ini perlu ada ketegasan KPU dalam bekerja. Selain itu juga trasparansi agar masyarakat siap untuk menerima kalau ada hal-hal dalam pelaksanaan Pemilu tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan. Penting juga untuk mempersiapkan lembaga-lembaga apapun di negara ini untuk mengantisipasi hal-hal terburuk yang akan terjadi, jika pelaksanaan Pemilu tidak sesuai tahapan.
Berikut wawancara Faisol Riza dengan Jeirry Sumampow. Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan keputusan membatalkan Pasal 214 di Undang-Undang (UU) No.10 tahun 2008 mengenai ketentuan nomor urut untuk menentukan siapa calon anggota legislatif (Caleg) yang berhak atas kursi di DPR, sehingga kini penentuan Caleg terpilih ditentukan oleh peraih suara terbanyak. Ada banyak pro dan kontra terutama dari partai-partai yang selama ini mendukung menetapkan nomor urut.
Itu juga karena keputusan ini dianggap menghilangkan ketentuan mengenai afirmasi terhadap kelompok perempuan yang dalam UU diberi kuota minimal 30% kursi di parlemen. Apakah Anda setuju dengan keputusan MK membatalkan Pasal 214 tersebut? Setuju atau tidak memang harus diterima karena MK telah mengabulkan permohonan penggugat dan mengeluarkan keputusan tersebut. Jadi posisi kita bukan lagi untuk menolak tapi menyetujuinya.
Menolak sudah tidak bisa lagi karena itu merupakan keputusan final terhadap pembatalan satu ketentuan yang diatur dalam UU No.10/2008 yang dinilai tidak sesuai dengan konstitusi. Sejak awal terutama dari luar parlemen yaitu banyak kelompok menyatakan memang semestinya penetapan Caleg terpilih berdasarkan suara terbanyak. Namun hal itu kandas begitu UU diputuskan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan ketentuan minimal meraih 30% suara dari bilangan pembagi pemilih (BPP) yang harus dicapai Caleg untuk bisa terpilih.
Tentu ada alasan mengapa sejak awal teman-teman mengusulkan suara terbanyak dimasukkan dalam UU? UU yang tidak mengakomodir suara terbanyak tersebut banyak mendapat resistensi karena sekarang kita sedang mendorong sistem untuk memilih orang, dan sebetulnya dalam sistem ini penggunaan suara terbanyak menjadi sesuatu yang lebih baik daripada yang kita pakai selama ini.
Kalau kita melihat kepada sistem yang dulu maka ada Caleg yang dipilih masyarakat dengan suara yang lebih banyak dari Caleg lainnya tapi partai menentukan lain karena sistemnya masih berdasarkan nomor urut. JPPR ikut bersama teman-teman lainnya mendorong agar suara terbanyak yang digunakan oleh DPR untuk menentukan calon terpilih. Apakah teman-teman tidak khawatir terhadap kemungkinan orang yang memang sangat populer terpilih, misalnya artis, tapi kapasitasnya diragukan untuk duduk sebagai Caleg? Saya kira ada saja keraguan terhadap hal itu.
Hanya saja semuanya tergantung kepada internal partai karena yang mengajukan orang yang akan menjadi anggota parlemen. Di dalam sebuah negara parlemen itu bukan kedudukan yang main-main, jadi semestinya partai politik melakukan proses seleksi untuk calon-calon yang akan diusulkan untuk maju sebagai calon Caleg. Kalau sudah melewati seleksi partai yang baik dan partai-partai serius melakukan itu, maka saya kira kekhawatiran-kekhawatiran itu bisa diminimalisir. Hanya saja problem kita sekarang adalah rekrutmen dan seleksi di internal partai politik lemah.
Kriteria dan parameter yang dipakai sangat tidak jelas, walaupun banyak juga partai politik yang mempunyainya. Tapi artinya ada aspek tertentu yang kemudian menjadi hal yang signifikan berpengaruh apakah seseorang akan menjadi Caleg atau tidak, atau yang terjadi dulu adalah calon ini menempati nomor urut berapa di internal partai.
Kita tentu khawatir tapi hal itu problem internal partai. Bagaimana terhadap ketentuan kuota 30% jatah kursi untuk Caleg perempuan karena banyak yang menyatakan hal ini dilanggar oleh keputusan MK? Memang yang paling resisten dengan keputusan MK tadi adalah kelompok perempuan dan kelompok lain yang melihat bahwa putusan MK itu berpengaruh terhadap affirmative action yang sudah diatur juga dalam pasal-pasal lain dalam UU No.10/2008 tentang Pemilu Legislatif.
MK tidak memberikan solusi tentang ini karena memang yang digugat adalah hanya pasal 214, tapi konsekuensi dari pembatalan pasal itu adalah pasal affirmative action tentang perempuan menjadi tidak bermakna lagi. Itu sebenarnya menjadi problem juga. Ini yang membuat banyak kelompok terutama kelompok perempuan memprotesnya.
Kalau kita mau membayangkan demokrasi yang ideal maka sebetulnya perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama, jadi mengapa tidak bertarung dalam posisi yang sama itu, dan banyak orang berpendapat inilah demokrasinya. Namun di banyak negara yang demokrasinya sudah lebih maju, penerapan affirmative action memang sangat lumrah karena pra kondisi yang ada di masyarakat banyak menguntungkan laki-laki daripada perempuan.
Memang kalau kita lihat faktanya perempuan mempunyai banyak kekurangan daripada laki-laki. Perempuan memiliki lebih kurang akses kepada masyarakat dibanding laki-laki, daya finansialnya juga lebih terbatas. Belum lagi kalau kita bicara masalah budaya, orang akan lebih memilih laki-laki ketimbang perempuan. Baru-baru ini muncul banyak kritik terhadap Komisi Pemilihan Umum (KPU) terutama terkait persiapan yang dilakukannya dianggap terlalu minim dan sangat terlambat, padahal waktu Pemilu sudah semakin dekat. Bagaimana komentar Anda?
Kalau kita melihat kepada persiapan Pemilu sekarang, sebetulnya kalau kita mau mengkritisinya atau mungkin mempersalahkannya adalah UU No.10/2008 itu sendiri. Menurut penilaian banyak kalangan, UU itu adalah UU yang paling jelek dari UU Pemilu yang pernah kita pakai sebelumnya. Banyak hal-hal didalamnya yang bertentangan.
Jika membaca UU itu dengan teliti, isi UU tersebut dengan sangat transparan terlihat merupakan kompromi politik yang memang tidak bisa disembunyikan lagi. Pasal 214 sebetulnya merupakan pasal kompromi, termasuk juga pasal-pasal lain yang berkaitan dengan affirmative action. Bukankah secara teknis persiapan-persiapan tidak secara langsung terkait dengan UU?
Terkait dengan UU karena KPU melaksanakan tahapan-tahapan Pemilu berdasarkan UU. Jadi kalau isi UU tidak jelas maka KPU tidak bisa mengambil tindakan apa-apa, atau kalau UU bersifat multi tafsir maka hal itu juga merepotkan.
Misalnya, KPU menafsirkan begini, tapi DPR dan pemerintah berbeda lagi. Hal ini dalam beberapa hal berpengaruh pada tahapan. Misalnya, dalam UU No.10/2008 awalnya ada ketentuan bahwa partai politik yang mendapat kursi di DPR tahun 2004 secara otomatis menjadi peserta Pemilu. Itu tentu dirasa tidak adil oleh partai-partai lain karena meskipun mereka tidak mendapat kursi tapi mereka mendapat suara, lalu mengapa yang punya kursi di DPR mendapat keistimewaan.
Pasal ini jelas menjadi kompromi politik di DPR yang membuat ketidakadilan tidak berlaku bagi semua partai. Kemudian digugat dan gugatan itu dikabulkan. Akibatnya, di tengah-tengah tahapan partai-partai yang mendapat kursi di DPR harus dimasukkan sebagai peserta Pemilu. Jadi sebenarnya pengaruh UU itu ada. Namun kita juga mengkritik KPU karena dalam melaksanakan tahapan-tahapan Pemilu banyak yang tidak terlaksana sesuai standar yang diinginkan.
Sejak tahapan awal terjadi sudah masalah di KPU. Pendaftaran administrasi saja sudah banyak yang keliru dari segi teknis, padahal ini adalah pekerjaan yang sudah dikerjakan sejak tahun 1955 oleh lembaga yang bernama KPU tapi sampai sekarang tidak begitu beres. Mungkin ada semacam ketakutan diantara mereka akan bernasib sama seperti KPU yang lalu?
Menurut saya ini lain, karena kasus lalu adalah korupsi, sementara sekarang banyak tahapan yang tidak ada kaitannya dengan uang tetap bermasalah. Misalnya, kalau dulu karena perlu ada percepatan-percepatan dalam persiapan sehingga perlu penunjukan langsung dan itu dianggap korupsi. Karena itu KPU sekarang merasa semua harus melalui tender yang membuat waktu lebih lama?
Berdasarkan pengalaman menunjukkan proses penggadaan logistik harus melalui tender, tapi KPU sejak awal mewacanakan supaya melakukan penunjukan langsung. Kadang kita heran apa sebenarnya keinginan KPU. Sampai sekarang tender logistik belum terjadi. Kemarin diumumkan tender tinta padahal yang sangat penting tender surat suara karena akan sangat berpengaruh pada hari H Pemilu yang sekarang kira-kira 70 hari lagi.
Saya kira hal itu yang membuat banyak teman sangat khawatir terhadap pelaksanaan Pemilu karena waktu yang mepet dan sampai 22 Januari 2009 KPU belum melakukan tender apa-apa. Artinya, tender sudah dilakukan tapi pengumuman pemenang tender belum ada. Padahal setelah tender ada proses verifikasi materi yang mau dicetak, kemudian mencetaknya, dan selanjutnya distribusi.
Apa sebenarnya yang terjadi di belakang ini, apakah karena anggaran yang kurang atau mereka tidak terbiasa dengan manajemen seperti ini padahal seharusnya mereka sudah banyak belajar dan bisa lebih baik? Sampai sekarang kita juga tidak paham ada apa di balik itu karena dalam proses ini KPU sangat tertutup, sehingga akses informasi ke KPU tidak pernah baik atau mungkin juga sebaliknya sebetulnya banyak sekali informasi yang beredar sehingga kita susah menganalisis.
Menurut saya, ini adalah masalah manajemen, sejak awal memang KPU tidak bisa mengatur kerja dengan baik terutama dalam mempersiapkan tahapan. Dalam banyak hal saya melihat anggota KPU seolah-olah sibuk tapi tidak ada yang mereka kerjakan. Mungkin karena terlalu banyak beban pekerjaan sehingga bingung apa yang harus diprioritaskan. Bukankah KPU dulu juga sama? KPU yang dulu jauh lebih paham mengenai Pemilu dan terhadap substansi-substansi setiap tahapan.
Setahu saya dan sejauh yang kita lihat mereka mampu menjalankan itu secara lebih konsisten dan dari segi kualitas juga ada. Ini berbeda dengan KPU sekarang. Kita bingung ketika KPU melakukan pengumumkan daftar pemilih tetap dua kali. Mereka memberi argumentasi hukum yang membuat bangunan hukum tentang Pemilu khususnya substansi setiap tahapan menjadi kacau balau.
Mana mungkin Daftar Pemilih Tetap (DPT) diumumkan dua kali, kalau begitu kapan kita dapat daftar pemilih tetap yang tetap. Katanya, jangan sampai terkena pidana karena ada orang yang tidak terdaftar makanya diakomodir dan KPU umumkan lagi, tapi sampai kapan? Justru salah satu prinsip Pemilu yang penting adalah adanya kepastian hukum. Kalau KPU lalai maka KPU bisa terkena pidana karena menghilangkan hak orang dan itu sudah resiko.
Dengan risiko seperti itu seharusnya dia melaksanakan tahapan dengan baik supaya risiko tidak ada. Jika mereka mengatakan demikian artinya mereka sedang melegitimasi bahwa proses yang dilakukan kemarin tidak benar karena rawan digugat dan kalau gugatan itu menang maka mereka bisa dipidana. Jadi tidak salah kalau kemudian orang menduga bahwa KPU bekerja untuk siapa sih?
Saya kira begini, kelihatannya memang KPU kita lemah sehingga mereka sangat mudah terintervensi kepentingan-kepentingan di luar. Sebetulnya mereka lemah karena memperlemah diri sendiri. Kita tidak tahu kepentingan siapa yang bermain karena tidak pernah diungkapkan di sana. KPU rawan diintervensi oleh semua pihak, baik oleh pemerintah, partai politik atau mungkin kepentingan-kepentingan lain, misalnya kepentingan organisasi kemasyarakatan tertentu atau keagamaan tertentu.
Kita tidak tahu ada deal apa antara KPU dengan orang-orang di belakang ini. Itu yang bisa publik lihat secara nyata. Dengan secara macam keterbatasan seperti tadi, apakah Anda masih optimis Pemilu akan berlangsung sebagaimana yang kita harapkan atau akan tidak sesuai jadwal? Akhir-akhir ini kita sedang berhitung terhadap konsekuensi kalau Pemilu mengalami masalah.
Dari sisi jadwal, misalnya jadwal pemilihan presiden (Pilpres), sebetulnya tidak nyambung antara UU Legislatif dengan UU Pilpres. Sewaktu DPR membuat UU Pilpres sebenarnya tidak secara cermat menghitung lagi waktu persiapan dan pelaksanaan di UU Legislatif, sehingga sub bagiannya memang tidak nyambung dan yang paling penting adalah waktu untuk sengketa 30 hari ditambah 7 hari.
Setelah itu baru bisa langsung ke tahapan Pilpres, padahal ada beberapa tahapan-tahapan Pilpres sangat tergantung dari hasil pemilihan legislatif. Misalnya, soal persentase untuk dapat mengusung calon presiden (Capres) yang memang berjalan di tahapan awal.
Kemudian berkaitan dengan ketentuan 2,5 persen parliamentary threshold, siapa partai yang akan ada di DPR karena memenuhi ketentuan tersebut dan siapa yang tidak. Kemudian juga persoalan persentasi perolehan suara dan kursi untuk mengusung presiden. Jadwal ini juga rumit dari segi UU dan harus kita maklumi. Memang ada yang mulai khawatir terhadap jadwal tersebut, sedangkan ini agenda nasional. Tanggal 1 Oktober kita harus mempunyai DPR baru, kalau itu tidak terjadi maka akan menjadi persoalan karena dalam konstitusi atau UUD tidak ada mekanisme untuk memperpanjang masa jabatan anggota DPR.
Yang ada biasanya adalah pergantian antar waktu (PAW) tapi ini sudah berakhir masa jabatan anggotanya, jadi bagaimana bisa diperpanjang. Begitu juga dengan presiden, Pada 20 Oktober 2009 kita sudah harus mempunyai presiden baru dan kalau lewat satu hari saja akan terjadi kekosongan pemerintahan. Itu karena mekanisme perpanjangan presiden tidak pernah dikenal dalam konstitusi kita.
Artinya, kalau jadwal bergeser maka kita akan mengalami krisis konstitusional yang saya kira harus sudah diantisipasi oleh banyak kalangan sejak sekarang. Apakah JPPR masih optimis Pemilu akan terlaksana sesuai jadwal? Dalam waktu yang tersisa ini kita tentu mendorong supaya Pemilu tetap dilaksanakan pada 9 April meskipun mulai banyak masalah juga. Secara teknis, tanggal 9 April itu jatuh pada hari Kamis, sedangkan tanggal 10 April merupakan Jumat Agung bagi umat Kristiani.
Jadi pada pekan itu akan ada libur cukup panjang. Di beberapa daerah juga sudah mulai muncul masalah ke permukaan. Misalnya, di Bali ada perayaan keagamaan juga sehingga ada kerepotan untuk merekrut petugas di tempat pemungutan suara (TPS). Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di Bali sudah mulai menolak karena ada upacara keagamaan di Bali selama sepekan, yaitu antara tanggal 5-12 April. Apalagi kerja di TPS itu seharian.
Bagi umat Katolik, pada 9 April merupakan Hari Kamis Putih dan ada ibadat perayaan dari pagi sampai malam. Otomatis kalau terlibat di TPS maka dia tidak mungkin lagi untuk terlibat perayaan keagamaan. Padahal kita tidak mungkin lagi menunda Pemilu tetapi masalah ini harus dicari solusinya oleh KPU sejak sekarang.
Kalau Pemilu tetap berlangsung, saya kira tanggal 9 April dengan proses seperti sekarang akan jalan, tapi yang saya khawatirkan dan harus kita antisipasi hal yang paling buruk adalah Pemilu akan berlangsung pada 9 April tapi tidak serentak berlangsung di semua TPS daerah atau kabupaten/kota meskipun pengalaman 2004 ada juga. Dulu ada beberapa TPS tidak bisa melaksanakan Pemilu pada 5 April 2004 karena logistik belum sampai. Ini diatur ulang dengan jumlah dan skala yang lebih besar.
Apakah hal itu tidak mengurangi substansi pemilihan? Sebetulnya mengurangi. Dari sisi legitimasi hukum bisa digugat juga kalau ada orang-orang yang mempersoalkannya, tapi semangat kita supaya itu tetap terlaksana. Pada Pemilu 2004 memang ada kasus meskipun kecil. Namun hal menyangkut persoalan logistik yang tidak sampai, jadi orang tidak bisa memilih karena surat suara tidak ada.
Dengan keterbatasan kemudian semangat kita yang tetap ingin agenda nasional ini berlangsung, apakah memang beban ini harus menjadi beban bersama? Saya kira harus kita tanggung bersama beban ini, meskipun KPU menjadi lembaga yang sangat kunci. Seharusnya mereka yang bertanggung jawab, tapi ini problem kita bersama.
Mengenai penilaian Anda bahwa manajemen KPU kurang optimal, apa saran Anda terhadap KPU terutama mengenai sikapnya yang tertutup selama ini? Pertama, saya kira KPU harus terbuka agar publik juga tahu bahwa memang pemilu kita ini ada masalah.
Sekarang banyak orang yang tidak tahu masalah-masalah seperti ini dan yakin saja Pemilu pasti akan jalan. Teman-teman sering meledek, kita semakin tahu detail-detail Pemilu dan kita semakin khawatir dengan hari itu, sedangkan publik tidak begitu.
Saya kira perlu ada transparansi agar masyarakat juga siap untuk menerima kalau ada hal-hal yang sebetulnya tidak berjalan sebagaimana yang direncanakan. Penting juga untuk mempersiapkan lembaga-lembaga apapun di negara ini untuk mengantisipasi hal-hal terburuk yang akan terjadi.
Daripada memprotes dan menyibukkan diri soal survey-survey yang perlu diakreditasi, lebih baik tahapan-tahapan Pemilu lebih dimaksimalkan? Kita kadang-kadang bingung juga. KPU mau membuat survey quick count, padahal hal itu menambah beban pekerjaannya dan sebenarnya bukan sesuatu yang harus dia lakukan.
Mengapa harus menambah beban sementara banyak hal yang belum beres dilakukan? Ini yang kadang-kadang bagi kita jadi aneh terhadap pola berpikirnya KPU yang menambah-nambah pekerjaan, sedangkan pekerjaan utamanya tidak dia laksanakan secara maksimal.
Kalau Anda yang sehari-hari bergelut dengan Pemilu saja bingung dan pusing dengan sikap KPU, bagaimana dengan masyarakat yang sekarang ingin terlibat dengan Pemilu? Sebetulnya kebingungan masyarakat pada yang bersifat teknis, misalnya, masih ada kebingungan tanda centang satu atau dua kali. Yang kita bingung sekarang adalah substansinya karena gawat kalau hal tadi tidak dicari solusinya. KPU perlu lebih tegas terkait perkembangan-perkembangan yang berlangsung terakhir ini dan harus secara cepat dicarikan keputusannya.
Sekarang dia berwacana terus, kadang-kadang wacana yang dilempar hari ini tapi besok dibantah lagi dan begitu terus. Padahal waktu untuk persiapan Pemilu terus berjalan. Saya kira perlu ketegasan, ambil satu sikap, risiko apapun itu urusan kemudian supaya kita lebih pasti menjalani atau menghadapi tahapan-tahapan Pemilu ini. Selain itu, ada banyak aturan yang sebetulnya belum selesai.
Sampai sekarang kita belum mendapat pengaturan tentang dana kampanye. Sebenarnya sudah sejak lama harus dikeluarkan dan banyak aturan-aturan lain yang seharusnya KPU keluarkan untuk mendorong proses-proses tahapan Pemilu bisa secara cepat berlangsung di daerah. Teman-teman KPU di daerah sebenarnya gelisah karena mereka terus menunggu karena ada banyak hal yang harus diproses dari pusat baru di daerah bisa dilaksanakan.
Hal itu juga termasuk yang berkaitan dengan dana. Ada problem dana terlambat dikeluarkan yang kita tidak tahu kenapa terjadi dan seperti apa karena tidak pernah diberitahu juga ke publik. Mereka sudah mulai lelang, sudah batas waktu untuk membayar tapi uangnya belum ada. Lalu bagaimana? Banyak di daerah yang terjadi seperti itu sekarang.(Jeirry Sumampow) Sumber : www.perspektifbarucom Tanggal 02 - 02 - 2009 (*)