Lingkaran Setan Dalam Sistem Pengawasan Illegal Fishing Selayar

Media Selayar
Rabu, 04 Mei 2011 | 21:25 WIB Last Updated 2020-05-07T06:11:58Z
Penulis : Andre Sunarta

Sejak berdirinya Coremap Phase I (pertama) hingga Coremap Phase II (dua) di Kabupaten Kepulauan Selayar, berbagai program dalam rangka penyelamatan terumbu karang telah disusun searah dengan arah kebijakan nasional.

Arah kebijakan tersebut kemudian menjadi acuan dalam pelaksanaan program. Sebagai bagian dari lokasi program rehabilitasi dan penyelamatan terumbu karang di Kabupaten Kepulauan Selayar,  program Coremap kemudian dijalankan. Meskipun pada akhirnya masyarakat Selayar menganggap, program ini berjalan pincang sehingga hasilnya jauh dari memuaskan.

Sebelum kita berbicara tentang reinkarnasi lingkaran setan yang memporak-porandakan program, kami mengajak untuk melihat pelaksanaan program Coremap di Kabupaten Kepulauan Selayar.
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Coremap II dalam tahapan pelaksanaan program saat ini sudah sampai pada tahap Kelembagaan.

Oleh karena itu menyikapi kenyataan di lapangan, khususnya di Kabupaten Kepulauan Selayar, yang paling mendesak dan harus dievaluasi secara besar-besaran adalah kelembagaan dalam pola pengawasan dan penegakan hukum yang diterapkan.

Jika kita berbicara tentang penjabaran program Coremap, maka program yang menghabiskan anggaran milyaran rupiah pertahun ini, menjadi tidak tepat sasaran, hampa dan tidak mencapai target karena kebobrokan sistim pengawasan dan penegakan hukum. Untuk itu, perlu dilakukan revitalisasi sistim pengawasan dan penegakan hukum.

Berbeda ketika Anda bertanya kepada pelaksana program, mereka akan menjawab bahwa program telah berjalan dan kepada Anda akan diperlihatkan susunan data yang konon berdasar dari hasil penelitian.

Akan tetapi jika Anda bertanya pada masyarakat awam, khususnya nelayan, maka output dari program yang dilaksanakan lebih dari satu dekade ini hasilnya adalah nihil. Bahkan rehabilitasi dan penyalamatan yang dilakukan dapat dikatakan gagal.

Ini tentunya tidak dilihat dari mekanisme administrative, akan tetapi pada hasil akhir yang merupakan tujuan program ini dilaksanakan, yaitu keselamatan dan kelestarian terumbu karang di Kabupaten Kepulauan Selayar.

Faktanya adalah, destructive fishing tidak menurun, bahkan meningkat. Program penyadaran masyarakat menjadi tidak relevan dengan kepercayaan masyarakat yang kian merosot terhadap pelaksana program, pengawasan yang tidak berjalan, penegakan hukum yang tumpang tindih, daerah perlindungan laut (DPL) yang hanya sebatas zonaisasi area, serta program mata pencaharian alternatif yang hanya merupakan program menghabiskan anggaran dan pemenuhan kuota program.

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa arah kebijakan program Coremap selama ini adalah berujung pada penyadaran masyarakat untuk ikut aktif menjaga kelestarian terumbu karang. Akan tetapi program-program tersebut kemudian menjadi angin lalu, karena sistem pengawasan dan penegakan hukum yang tidak berjalan sebagaimana mestinya dan akhirnya melahirkan pencitraan buruk.

Masyarakat tidak percaya kepada pelaksana program. Masyarakat melihat secara kasat mata bahwa ketika mereka berniat untuk menjaga terumbu karang di sekitar lingkungan mereka, mereka justru menyaksikan di depan mata, orang luar datang melakukannya dengan intensitas yang lebih besar, kerusakan yang lebih besar, terorganisir dan bahkan kegiatannya terbackup.

Disinilah muncul apa yang kami sebut lingkaran setan, sebuah lingkaran terselubung yang terbentuk dari karakteristik oknum yang tidak bertanggung jawab, penyalahgunaan jabatan dan kewenangan yang berlangsung secara terus menerus dan merusak program secara totalitas. Kesadaran yang telah lahir dan terbangun kemudian dengan cepat dimatikan oleh pencitraan oknum yang buruk, penegakan hukum yang tebang pilih, keterlibatan oknum di dalam sistem, backup kegiatan illegal dan sebagainya.

KEMBALIKAN "HANTU PUTIH"

Mari kita kembali sejenak mengenang speed boat Taka Lamongan di Kabupaten Kepualauan Selayar pada tahun 2003. Para pelaku pembom dan pembius di Kabupaten Kepualauan Selayar menyebutnya sebagai "Hantu Putih". Pada saat speed boat ini beroperasi, kuantitas kegiatan illegal menurun drastis,  dan banyak pelaku yang tertangkap.

Hal ini terjadi karena terbentuk harmonisasi antara pelaksana program dengan aparat yang tergabung dalam MCS Coremap. Antusiasme masyarakat terhadap program meningkat, bahkan banyak pelaku yang memilih berhenti dan mencari pekerjaan alternatif sendiri. Program berjalan, pengawasan dan penegakan hukum berjalan dengan kehadiran si Hantu Putih.

Namun hal ini kemudian terhenti karena speed boat ini harus dikembalikan dengan alasan biaya operasional yang relatif tinggi. Padahal dengan output yang diberikan, proyek tersebut layak untuk dipertahankan. Perlu diketahui bahwa lingkaran setan sudah ada sejak saat itu. Beroperasinya Taka Lamongan di Kabupaten Kepulauan Selayar membuat banyak pelaku yang tertangkap, dan hampir memutuskan rantai lingkaran setan.

Akhirnya mereka melakukan upaya dengan cara menyusun permasalahan sedemikian rupa sehingga speedboat harus dikembalikan, memarkir speed boat pada daerah yang berombak keras sepanjang musim barat, mengakibatkan kerusakan dan butuh dana besar untuk memperbaiki.

Pada akhirnya hantu putih hilang dari Kabupaten Kepulauan Selayar dan lingkaran setan kembali terbentuk bahkan bereinkarnasi sampai saat ini. Reinkarnasi tersebut kemudian melahirkan degradasi pada aspek pengawasan dan penegakan hukum.

Salah satu contoh yang paling ironis adalah kejadian pada awal tahun 2010, dimana kapal Milik Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Kepulauan Selayar, KM. Tanadoang, tertangkap oleh patroli Jagawana di Kawasan Taman Nasional Takabonerate yang diduga digunakan untuk kegiatan illegal fishing.

Pelaku sempat menjalani proses hukum, namun kemudian kandas di tengah jalan. Seorang staf pada Dinas Perikanan beralasan bahwa kapal tersebut dipinjam oleh nelayan dan mereka tidak tahu bahwa kapal tersebut akan digunakan membom.

Bukan berarti alasan tersebut salah, akan tetapi ini justru membuktikan kebobrokan pengawasan, bahwa jangankan penegakan hukum, bahkan mereka tidak mengenal kepada siapa mereka memberikan fasilitas. Ini salah satu kekhawatiran, bahwa jangan sampai fasilitas yang diberikan dan dana yang diluncurkan untuk perlindungan terumbu karang, justru digunakan untuk menghancurkan karang.

Biaya penelitian lokasi terumbu karang dan identifikasi species ikan, jangan sampai justru digunakan sebagai pemetaan bagi para pelaku untuk mecari daerah subur untuk melakukan kegiatan kegiatan ilegal.

Disisi lain, indikasi ketidak-seriuasan dalam pengawasan dan penegakan hukum ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa saat ini Coremap II Wakatoby, Raja Ampat dan Biak sudah menggunakan speed boat yang hampir sejenis dengan Taka Lamongan dan menunjukkan prestasi yang menakjubkan dalam pengawasan dan penegakan hukum. Sedang Coremap II Selayar, tidak pernah ada niat untuk mengajukan usulan pengadaan speed boat kembali.

REVITALISASI SISTEM PENGAWASAN DAN PENEGAKAN HUKUM

Dalam hal pelaksanaan program, hendaknya kita melihat aspek yang paling menentukan. Keberhasilan program adalah jika semua program berjalan beriringan. Dan khusus Kabupaten Kepulauan Selayar, ketimpangan program adalah karena kegagalan program pengawasan. Oleh karena itu, diperlukan revitalisasi untuk sistem pengawasan tersebut.

Pada kesempatan ini kami tidak perlu menyebutkan secara tehnis bagaimana sistem dan pola yang seharusnya dijalankan dalam pengawasan dan penegakan hukum ini. Sebab beberapa daerah program sudah menjalankannya, seperti Raja Ampat, Wakatobi dan Bunaken. Jika sistem tersebut diberlakukan di Selayar dengan didukung oleh sarana yang memadai dan pelaksana program - diantaranya aparat penegak hukum yang professional, maka pengawasan akan berjalan.

Dan jika pengawasan dan penegakan hukum berjalan sebagaimana mestinya, hal tersebut akan berimbas pada program-program yang lain. Karena masalah utama di Kabupaten Kepulauan Selayar pada intinya, adalah, program Pengawasan dan Penegakan Hukum.

Satu hal yang menjadi catatan bagi Coremap pusat, adalah, bahwa bukan tidak mungkin ada program strategis yang merupakan inovasi daerah lain atau inovasi nasional yang dapat dijalankan di suatu daerah. Jangan terfokus pada usulan dari bawah, karena pola partisifatif yang dijalankan selama ini dengan mengatakan bahwa program yang diusulkan adalah aspirasi masyarakat, itu adalah omong kosong.

Yang terjadi adalah para fasilitator menyusun program sendiri, kalaupun dikomunikasikan ke masyarakat, nanti setelah program itu dibuat atau dilaksanakan. Dalam kondisi seperti ini, kebijakan penyusunan program harus dilihat pada kebutuhan daerah yang mengarah kepada penyelamatan terumbu karang, bukan atas usulan orang perorang yang sarat dengan kepentingan.

Jika dimungkinkan, dilakukan reposisi pelaksana program pengawasan, misalnya dengan menempatkan profesional dari luar Kabupaten Kepulauan Selayar untuk mengendalikan pengawasan di wilayah Coremap II Selayar, dengan catatan, bahwa orang tersebut sudah memiliki citra dan dedikasi dalam hal pengawasan dan penegakan hukum.

Bukan berarti orang Selayar tidak mampu, akan tetapi kita harus tahu bersama bahwa Kabupaten Kepulauan Selayar adalah daerah kepulauan yang penduduknya masih memiliki keterikatan famili antara satu dengan yang lain.

Kenyataan ini akan sangat berpengaruh secara psikologis bagi pelaksana program pengawasan dalam melaksanakan tugasnya jika yang bersangkutan berasal dari Selayar. Masalah di Kabupaten Kepulauan Selayar akan sangat sulit diselesaikan, jika Coremap Pusat hanya berdasar pada laporan pelaksana program semata.

Jika itu yang terjadi, keberadaan Coremap II hingga akhir masa program di Selayar, tidak akan membawa perubahan apa-apa.


Bila terdapat kekeliruan dalam penulisan silahkan Kontak Redaksi kami Untuk Klarifikasi
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Lingkaran Setan Dalam Sistem Pengawasan Illegal Fishing Selayar

Trending Now

Iklan