Kun dan Tradisi Keaksaraan

Media Selayar
Kamis, 07 November 2013 | 02:54 WIB Last Updated 2020-05-15T10:08:40Z
Kun ,dan ,Tradisi ,Keaksaraan
Moh. Sabri AR
Oleh Moh. Sabri AR

Permenungan diskursif tentang manusia primordial—manusia yang mula asal menghuni bumi—telah mengalir deras dalam sebilah garis sejarah yang dingin, selama ribuan tahun.

Tiga tungku wiracarita soal manusia pontifex ini pun diluahkan dalam narasi mitos, kitab suci, dan sains. Masing-masing membangun argumen yang ringkih. 

Tak ada sepakat. Saling menyerang. Satu-satunya yang secara bulat bisa diterima tanpa jejak perselisihan, bahwa manusia ditemukan dalam aksara. Atau, manusia ada dalam dan lahir dari rahim aksara.

Dalam tradisi Islam, “kun!” diyakini sebagai verbum dei: aksara Tuhan yang mengembuskan semesta penciptaan, termasuk penciptaan manusia. Kun, dan bentuknya yang jamak dalam bahasa kehidupan, melukiskan bagaimana sebuah ikhwal bermula ditandai dengan aksara. 

Tak kurang dari teosof Muslim genial Abad Pertengahan, Ibn ‘Arabi, menulis Syajarat al-Kawn (“pohon kosmik”), sebuah kisah tentang asal-usul semesta yang tumbuh dari benih “kun”. Ibn ‘Arabi mendaku, “kawn” (kosmik) sejatinya berakar dari “kun,” titah Tuhan yang menandai setiap penciptaan: bermula pada sunyi yang mengepung Kemahatunggalan-Nya, lalu Dia mencipta segala sesuatu di-luar-diriNya. Kun, sebab itu, adalah jejak awal seluruh penciptaan.

Aksara, sebagai manifestasi kun yang paling dini, mengandaikan keikutsertaan ide, gagasan, juga imajinasi dan intuisi di tubuhnya.

Dengan aksara kita menuangkan gagasan, ide, dan dentuman rindu: aksara dan ide adalah dua paras yang tak bisa diisolasi. 

Tapi, karena aksara menjadi corong ide, pikir, dan rasa, ia pun menyisakan ruang yang terbelah. Karena berpikir berarti konseptualisasi, definisi, kategorisasi, klasifikasi dan abstraksi.

Namun ‘keterbelahan’ aksara bukan sebuah cela yang nista, tapi justru menjadi ruang untuk merayakan kepelbagaian makna.Aksara dan Baca

Awalnya adalah aksara. Setelah itu, baca. Mungkin inilah yang menandai imperatif Tuhan: Bacalah dengan Nama Tuhanmu yang mencipta (Qs. 96:1), yang merengkuh Muhammad Sang Tajalli Kamil. Angin musim memeluk tiang-tiang gurun.

Gua Hira senyum merangkul Muhammad dalam permenungan panjangnya yang sublim: tak jemu menanti isyarat, meletihkan tapi juga agung. 

Dari sunyi yang suci, yang misterium- tremendum-fascinosum, sebut Otto, lalu aksara hadir menyapa. Muhammad, yang tak punya kecakapan aksara, yang “ummi,” justeru menerima aksara langit, corpus texere: diminta untuk membacanya, mengejanya berulang-ulang lalu tersimpan kukuh dalam jantung Sang Nabi yang suci.

Namun ada ikhwal lain. Pembacaan yang patuh terhadap aksara, menyisakan ancaman: jatuhnya seorang ke dalam lembah keseragaman.

Sebaliknya, pembacaan yang ‘liar’ dan tak ingin takluk dalam uniformity, dapat menjadi perangkat dasar dalam menjaring makna yang terhampar pada sekujur tata kosmik, perihal diri dan Tuhan. 

Aktus membaca memang bukan arus yang sepihak, tapi gemuruh: melibatkan persepsi intelek, latar sosio spasio-temporal, imajinasi, emosi, dan juga ego.

Karena itu, membaca, adalah arus yang menyatukan banyak soal dalam aku-sadar. Seorang pembaca yang baik adalah seorang yang membiarkan setiap jengkal irama ‘diri’-nya menari bersama aksara: menari dengan sepi yang liar. Paul Ricoeur menyebutnya, la chose de texte.

Dalam mitologi Mesir kuna, Toth dipercayai sebagai sang penemu aksara. Toth memiliki nama yang beragam di sejumlah peradaban antik. Di Persia, ia dikenal dengan nama Hushang, Ukhnuh (Yahudi), Kenokh (Kristen), Idris (Islam), dan Hermes (Yunani). 

Nama terakhir, punya keterkaitan dengan hermeneutica philosophy, sebuah tradisi filsafat bahasa yang memosikan text sebagai medan penafsiran semesta tanda.

Di sana, setiap ikhtiar penyingkapan makna text, menegasikan sikap pretensi benar, dan hasrat pasti benar, menekuk fakta dan imajinasi dalam tafsir tunggal: biarkan nafas dan peluh menjadi tanda, dan Tuhan sebagai penyaksi.

Setiap text—dalam pendakuan Toth—adalah farmakhon yang menangkup dua arti: “racun” dan “obat”. Text menjadi racun, ketika ia menjadi bui dan tak lagi mampu merengkuh lautan makna di balik realitas yang coba dilukiskannya. Text sebagai obat-penawar, karena ia bisa mewariskan makna secara autentik dari generasi ke generasi.

Dalam literasi Islam, penyingkapan makna text suci Al-Qur’an misalnya, mengenal tiga dunia: tarjamah, tafsir, dan ta’wil. Tarjamah, adalah penelusuran makna dengan melihat relasi text-text. Tafsir mengonstruk makna dari serpihan yang tercecer pada relasi text-context. Sementara takwil, mencoba menyelami makna terdalam sebuah teks: inner meaning of the text.

Bahasa, juga bahasa yang dipilih Tuhan, dicipta oleh rongga dan hasrat. Konstruksi verbal tentang Tuhan, juga titahNya, mengalir dalam dunia aksara yang terikat, meskipun bergerak untuk menerobos pelintasan yang tak bertepi.(CP)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Kun dan Tradisi Keaksaraan

Trending Now

Iklan