Boikot Tangkapan Nelayan, Perlukah?

Media Selayar
Jumat, 21 April 2017 | 10:34 WIB Last Updated 2020-05-05T04:37:07Z
MEDIA SELAYAR WHILE IMPROVEMENT AND REINFORCEMENT OF OLD ARTICLES TO SOME FUTURE TIME. PLEASE SORRY TO THIS INTERFERENCE. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia (the largest archipelagic country in the world) dengan wilayah laut yang lebih luas dari pada daratan, sehingga wajar jika banyak yang berminat untuk mengambil keuntungan dari sumber daya yang tersedia itu.

Oleh: Andi Baso Tancung

Penulis adalah Mahasiswa Magister Manajemen Pesisir dan Teknologi Kelautan Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar Bukan hanya petani nelayan yang memakai alat tangkap secara tradisional, tapi juga nelayan yang sudah menggunakan alat tangkap yang modern.

Olehnya itu, luasnya laut yang begitu besar maka tentunya potensi Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di dalamnya juga tergolong cukup banyak. Dimana luas laut secara keseluruhan adalah perairan laut teritorial dengan luas sekitar 3,1 juta km2 dan Indonesia juga memiliki hak pengelolaan dan pemanfaatan ikan di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) sekitar 2,7 juta km2.

Memang diakui bahwa luasnya laut yang dimiliki itu menandakan bahwa potensi akan sumber daya alam cukup melimpah, sehingga dapat dikatakan bahwa masyarakat yang mendiami bumi Indonesia tidak ada lagi yang miskin, karena kekayaan alam yang begitu berlimbah. Wajar saja jika “Tamu” tak diundang kerap memasuki perairan Indonesia untuk menangkap ikan tanpa bisa dikendalikan secara keseluruhan.

Meski aparat keamanan tetap berupaya semaksimal mungkin untuk menjaga laut yang begitu luas, tapi kadang terkecoh atau kecolongan sehingga sumberdaya alam yang kita jaga itu tetap diambil orang. Ditambah dengan nelayan kita sendiri yang kerap merusak lingkungan dengan menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan.

Padahal, sebagai warga negara yang baik tentunya lingkungan juga tetap dijaga, sehingga kelestarian sumber daya alam tetap lestari. Tapi apa lacur, kebanyakan nelayan yang menangkap ikan di laut menggunakan bahan kimia yang diketahui dapat merusak lingkungan dan ekosistem yang ada.

Bukannya merasa prihatin atas apa yang terjadi sekarang ini. Dimana ekosistem terumbu karang banyak yang rusak akibat pelaku bom dan bius ikan, sehingga ikan-ikan karang pun ikut kehilangan tempat tinggal.

Memang diakui bahwa perlakuan para nelayan itu menjadi suatu problem yang sangat besar, bukan hanya pada lingkungan tapi juga menjadi masalah besar bagi manusia itu sendiri meski tidak nyata berpengaruh bagi kesehatan masyarakat yang suka mengkonsumsi ikan-ikan hasil tangkapan yang menggunakan bahan kimia.

Olehnya itu, penangkapan ikan yang telah berlangsung lama itu tidak menimbulkan masalah, melainkan banyak masalah yang ditimbulkan terutama dengan berkembangnya teknologi sehingga sekarang ini nelayan yang menangkap ikan sudah mampu berkreasi dengan menggunakan berbagai bahan kimia seperti bom dan bius ikan.

Wajar saja jika hasil tangkapannya luar biasa banyaknya dan uang yang didapatkannya juga sangat besar. Tapi dibalik semua itu, lingkungan tempatnya menangkap ikan akan rusak bahkan ekosistem terumbu karang yang ada di dalamnya juga ikut rusak.

Menurut Supriharyono (2007) terumbu karang Indonesia telah banyak yang rusak, dari luas terumbu karang sekitar 50.000 km2 yang ada hanya tinggal 6,48 % kondisinya masih sangat baik, 22,53 % baik, 28,39 % rusak, dan 42,59 % rusak berat.

Betapa tidak, jika kerusakan yang ditimbulkan sianida ini tidak main-main. Pasalnya, sianida itu mampu membunuh seluruh makhluk hidup yang ada didalamnya (terkena) lataran zat kimia ini memiliki kandungan yang mematikan.

Oleh karena itu, wajar saja kalau pemerintah melarang keras penggunaan bahan kimia ini lantaran bukan hanya ikan-ikan yang mati, tapi juga racun yang ditimbulkan bisa berdampak pada manusia itu sendiri. Terutama ikan tidak segar, sedangkan kebutuhan konsumen sangat mengiginkan ikan segar yang layak konsumsi, untuk memenuhi kebutuhan gizi dalam tubuhnya.

Ikan yang ditangkap dengan sianida itu biasanya cepat busuk, sehingga sangat mudah dibedakan antara ikan hasil tangkapan yang normal. Bahkan ikan tersebut tidak bisa diekspor lantaran negara-negara luar tidak bisa membelinya. Apalagi kalau sudah mengandung racun atau zat kimia.

Pengeboman ikan pada mulanya menggunakan bahan peledak komersial berkembang dan cenderung membuat bahan peledak sendiri dengan menggunakan pupuk kimia, setiap bom beratnya kurang lebih 1 kg dan ledakannya membunuh ikan dalam radius 15 – 20 meter, terumbu seluas 500 m2 dan menciptakan lubang di terumbu dengan diameter 3-4 meter, dan pengebom mencari ikan yang hidup berkelompok (ikan bibir tebal, kerapu,ekor kuning, kakap tua dan surgeon) yang menjadi sasaran utamanya (Asbar, 2009).

Untuk mencegah semakin meluasnya kerusakan lingkungan terutama ekosistem terumbu karang, ditambah lagi nelayan yang sudah tidak bisa dikendalikan kebiasaan buruknya itu, maka mau atau tidak masyarakat yang gemar dengan ikan laut bisa memboikot hasil tangkapan para nelayan dengan cara tidak membeli ikan, baik yang dijual di Tempat Pelelangan Ikan (TPI), maupun di pasar-pasar atau penjual ikan jajan (pagandeng).

Pasalnya, tanpa adanya aksi memboikot itu sudah pasti bahwa nelayan yang menangkap ikan tidak akan bisa meninggalkan kebiasaannya itu dengan menggunakan bahan kimia, karena hasil tangkapannya lumayan banyak. Tapi kalau seluruh masyarakat (bersatu) yang di daerah ini secara bersama-sama tidak membeli ikan hasil bom, maka itu sudah bisa diprediksi bahwa nelayan tentunya berfikir untuk mengulangi atau melakukan penangkapan dengan bahan peledak.

Sebab selama ini berbagai cara telah dilakukan oleh pihak yang bertanggung jawab atas keselamatan lingkungan perairan, tapi kenyataan di lapangan kurang mempan. Meski sudah diberikan berbagai sosialisasi dan pemahaman atas perlakuan itu yang dianggap dapat merusak lingkungan, tapi toh mereka tidak jerah dan tidak akan meninggalkan kebiasaannya tersebut.

Sehingga wajar jika masyarakat bersatu untuk sementara tidak membeli ikan laut, tapi mengkonsumsi ikan bandeng atau ikan-ikan air tawar lainnya yang dianggap aman dari bahan kimia.

Jadi, masyarakat tidak perlu ragu dan takut untuk tidak makan ikan laut, melainkan membeli dulu ikan yang berasal dari tambak atau memakan lauk yang dapat dimanfaatkan tubuh.

Olehnya itu, mayarakat harus optimis bahwa boikot itu merupakan pelajaran bagi para nelayan sehingga bisa merubah pola pikirnya yang selalu mencari keuntungan yang besar, meski lingkungan dirusaknya. Mudah-mudahan boikot tersebut bisa menjadi cacatan tersendiri dalam mencegah illegal fishing di negeri ini khususnya di Sulawesi Selatan. Semoga !

BACA JUGA : Dinas Perikanan Selayar Ambli Sample Produk Untuk Uji Laboratorium
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Boikot Tangkapan Nelayan, Perlukah?

Trending Now

Iklan