Jalan Panjang Kebebasan Pers

Media Selayar
Sabtu, 22 April 2017 | 06:37 WIB Last Updated 2020-05-05T04:14:34Z
KEBEBASAN pers yang dialami insan pers saat ini, tidak terlepas dari perjuangan kemerdekaan pers yang dilakukan pada masa sebelumnya. Sejarah pers Indonesia telah membuktikan bagaimana kebebasan pers, bukan diperoleh secara cuma-cuma.Kebebasan pers merupakan sesuatu yang diperjuangkan dan tak jarang harus dibayar mahal oleh insan pers itu sendiri.

Secara historis, peranan pers dalam kehidupan kebangsaan dan kenegaraan mengalami pasang surut. Pada masa Pemerintah Kolonial Belanda, pers mengemban tugas menyebarkan ide-ide kebangsaan dan kemerdekaan kepada masyarakat meskipun dalam perannya itu, pers mendapatkan pengawasan yang sengit dari penguasa.

Salah satu tokoh pers yang berperan besar dalam perkembangan pers Tanah Air adalah RM Tirto Adhi Soerjo. Tokoh yang pada tahun 2008 lalu, dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh pemerintah ini, pada awal abad ke-20 mendirikan surat kabar Medan Prijaji, salah satu surat kabar berbahasa Melayu sekaligus pionir pers profesional pribumi di Tanah Air.

Medan Prijaji saat itu konsisten dengan fungsi pers sebagai sarana penyebar gagasan nasionalisme sekaligus mendukung perjuangan pribumi yang ditindas Pemerintah Kolonial Belanda. Setelah kemunculan koran tersebut, menjelang masa kemerdekaan lahirlah banyak surat kabar pribumi yang juga turut berperan dalam kemerdekaan Indonesia. Pada era kemerdekaan, pers relatif dipelihara pemerintah, tapi ruang gerak pers masih terbatas.

Pada masa kepemimpinan Presiden Soekarno, kita melihat bagaimana kekuasaan politik telah menyentuh seluruh aspek kehidupan masyarakat sehingga tidak banyak institusi pers yang berani mengambil sikap kritis terhadap pemerintah. Selain itu, dunia pers juga tidak sepenuhnya independen karena banyak usaha penerbitan yang menjadi corong kekuatan politik tertentu. Namun, upaya perlawanan bukannya tidak ada.

Salah satu surat kabar nasional,Indonesia Raya,berani mengambil jalan yang berseberangan. Atas sikap kritisnya, surat kabar ini harus membayar mahal, pembredelan oleh pemerintah dan membuat pemimpin redaksi harian ini, Mochtar Lubis, dipenjara. Pada masa Orde Baru,kebebasan pers hampir tidak menemui setitik celah pun untuk menghirup kebebasan. Sebaliknya, pemerintah selalu mencari cara untuk mengontrol pers.

Hal ini dilakukan dengan memberlakukan mekanisme lisensi Surat Izin Cetak (SIC) dan Surat Izin Terbit (SIT) bagi setiap penerbitan pers. Menurut catatan AJI, setidaknya 25 media nasional dibredel pada masa Orde Baru. Puncaknya, terjadi pada 1996-an di mana pemerintah mencabut surat izin terbit tiga media, yaitu Tempo,Detikdan Editor. Memasuki reformasi, dengan dukungan pemerintah, kebebasan pers kembali hidup di Tanah Air.

Hal itu terlihat dari lahirnya Undang- Undang No 40/1999 tentang Pers. UU tersebut menjamin tidak ada lagi bentuk pengekangan terhadap pers, seperti penyensoran atau pembredelan. Jumlah usaha penerbitan pers pun meningkat menjadi 1.398 media pada tahun 1999. Namun,bukan berarti kebebasan pers sudah terjamin sepenuhnya. Sebab, masih banyak kasuskasus yang bertentangan dengan kebebasan pers, misalnya maraknya gugatan terhadap media atau kriminalisasi pers dan kasus kekerasan terhadap wartawan.

Jika pada masa Orde Baru gugatan terhadap pers dilancarkan pemerintah, maka pada era reformasi tuntutan itu mayoritas dilakukan masyarakat atau kalangan ekonomi. Berkaca dari berbagai upaya perjuangan kebebasan pers di atas, institusi pers saat ini tetap harus mengambil sikap kritis dan konstruktif. Untuk mewujudkannya,dukungan masyarakat dan pemerintah diperlukan.

Dari sisi pemerintah, hak-hak kemerdekaan pers yang telah dibangun sejak reformasi harus dilindungi tanpa kecuali. Bagi masyarakat, pemahaman terhadap pers atau “melek media” harus ditingkatkan. Jika ada pihak- pihak yang dirugikan oleh pers agar menempuh mekanisme sebagaimana diatur dalam UU Pers, yaitu menggunakan hak jawab dengan difasilitasi Dewan Pers atau organisasi-organisasi pers.

Jika demikian yang terjadi, tentunya Dewan Pers akan melakukan mediasi terhadap pihak yang bersengketa. Apabila ditemukan pihak pers melakukan kesalahan, maka akan diselesaikan dengan mengacu pada UU Pers atau kode etik jurnalistik. Terkait dengan itu, Dewan Pers telah menerima lebih dari 1758 pengaduan masyarakat terkait pemberitaan pers yang melanggar kode etik sepanjang tahun 2000-2008.

Selain dukungan pemerintah dan masyarakat, pers juga harus bersikap reflektif atas fungsi dan perannya selama ini.Pers harus berupaya untuk tetap menjaga profesionalisme dalam menjalankan tugas- tugas jurnalistiknya serta menaati etika


KEMBALI KE HALAMAN DEPAN 
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Jalan Panjang Kebebasan Pers

Trending Now

Iklan