Manajemen Konflik Dalam Tatanan Sosial Oleh: Hamka Hakim, Dosen Universitas Satria Makassar

Media Selayar
Jumat, 21 April 2017 | 09:58 WIB Last Updated 2021-08-24T09:09:02Z
Oleh: Hamka Hakim, Dosen Universitas Satria Makassar


KEHIDUPAN manusia adalah hasrat abadi yang tidak kunjung padam untuk meraih kekuasaan demi kekuasaan, dan hanya berhenti ketika ajal telah tiba. Kekuasaan itu hanya dapat dicapai melalui usaha: (1). Perjuangan dan atau persaingan atas sumber yang langka; (2).


Mempertahankan diri mereka sendiri serta mencegah pihak lain untuk merampas kekuasaan yang mereka himpun (diffidence); (3). Jikalau sumber tidak langka dan harta benda manusia terjamin, manusia perlu mengembangkan perasaan superioritas yang berasal dari pemilikan kekuasaan atas orang lain, yang disebut kemuliaan.


Ketiga penyebab itu menghadapkan setiap orang dalam keadaan perang terus-menerus. Itulah sebabnya masyarakat disebut sebagai persekutuan yang terkoordinir secara paksa atau imperatively coordinated associations.
 

Secara komprehensif digambarkan mengenai sumber konflik dan usaha mengelola konflik kearah tujuan positif, berangkat dari kategori yakni superstruktur material, sistem sosial dan suprastruktur ideologis. Setidaknya terdapat beberapa sumber konflik di antaranya keuangan.


Pada aspek sistem sosial muncul polarisasi beroposisi, lahirnya lembaga pendidikan spesifik, moneterisasi, dan perebutan sumber kekuasaan melalui sistem kepartaian yang semakin membuat ekslusivisme di antara dua atau lebih kelompok orang berbeda etnis dan atau agama.
 

Sedangkan pada aspek komponen superstruktur ideologi, dijelaskan bahwa hampir semua agama sesungguhnya menginginkan suasana damai, namun dalam kenyataan konflik tetap saja terjadi, karena perbedaan cara manusia mengartikan dan menempatkan agama sebagai identitas etnik dengan berbagai akibatnya, terutama dalam fungsi sebagai pemberi justifikasi yang paling meyakinkan. Atas dasar identifikasi sumber konflik itu, terdapat model manajemen konflik berbasis komunitas dan manajemen konflik berbasis masyarakat politik.
 

Manajeman konflik berbasis komunitas di antaranya: berusaha memelihara dan menciptakan katup pengaman secara 'emajiner'-main-main. Transformasi konflik melalui pembagian kekuasaan, mempersatukan tujuan, rela mengalah, 'gaya menghindar', melakukan negosiasi, kompromi, dominasi hingga rekonsiliasi. Sedangkan manajemen konflik berbasis politik di antaranya adalah tindakan: prayuridis, yuridis politik, hegemoni dan dominasi.
 

Atas dasar manajemen konflik seperti itu, maka ke depan diharapkan terwujud kesalehan individu. Hal itu baru bisa terwujud jika dikembangkan budaya dialogis, artinya semua kelompok sosial, baik atas dasar agama dan etnik yang hidup dalam ruang dan waktu yang sama, harus bersedia mendialogkan kebudayaan, tradisi, dan agama maupun aneka perbedaan yang dimiliki dan semua itu tidak sebatas didialogkan saja, melainkan diwujudkan dalam bentuk praksis.

 
PEMICU KONFLIK
 

Migrasi penduduk yang tidak terkendali dan terkontrol dalam banyak kasus telah menjadi salah satu faktor yang dapat memicu konflik antar etnis dan berlanjut menjadi konflik antar pemeluk agama. Kasus Ketapang , Sambas di Kalimantan, Bali, Poso, Maluku dan munculnya percik konflik di Lampung disebabkan oleh dominasi migran terhadap penduduk asli.


Hal ini dikarenakan tingkat migrasi (kelompok kepentingan) yang cukup tinggi disertai motivasi untuk maju, menyebabkan banyak ruang, waktu dan sumber daya alam telah dikuasai oleh new comers tanpa disadari dan dipedulikan masyarakat asli. Pada limitasi tertentu masyarakat asli tersentak bahwa sejumlah sumber daya alam dan manusia telah dikuasai malahan didominasi oleh new comers.


Kondisi demikian oleh Scott (dalam Ahimsa Putra, 1988) ditengarai dapat menimbulkan pola hubungan sosial atas dasar ketidaksamaan (inequality) malahan terjadi pula interaksi atas dasar ketidakseimbangan (inbalance).
 

Bertolak dari hubungan ketidaksamaan (inequality) dapat saja membentuk pola hubungan harmonis sepanjang kedua belah pihak sadar akan adanya prinsip saling membutuhkan dan atau memberi dengan harapan menerima (reciprocity).


Tetapi hubungan atas dasar ketidakseimbangan (inbalance) selalu potensial memicu munculnya konflik sosial (Bendix dan Lipset, 1960; Lenski, 1966; Dahrendorf, 1986; Ritzer, 1987; Grusky, 1994) terlebih disertai dengan dominasi terhadap penduduk asli dalam menguasai sumber daya alam maupun memperlakukan sumber daya manusia, sehingga menimbulkan perasaan takut untuk disisihkan, dikalahkan, dan atau didominasi (Slotin, 1956; Legg, 1983; Scoot, 1986;).
 

Karena itu, faktor ini merupakan komponen sentral pada infrastruktur material yang memicu konflik sosial pada masyarakat multikultural, melebihi faktor demografis dan ekologis. Artinya, distribusi sumber-sumber ekonomi dan kekuasaan yang tidak merata, serta persaingan untuk memperebutkan kekuasaana secara sistematis merupakan sumber utama konflik sosial.


Konflik sesungguhnya merupakan manifestasi lebih lanjut dari adanya ketidaksamaan kebutuhan dan kepentingan. Konflik kepentingan ditandai dengan adanya kelompok masyarakat yang mengejar tujuan yang tidak dapat diselaraskan. Kepentingan yang sesungguhnya sebagai syarat hidup (living condition), seperti pendapatan, standar kehidupan, gagasan kualitas hidup dan gagasan otonomi.
 

Karena kepentingan kian bervariasi dan meluas, maka syarat hidup juga mengalami hal serupa, karena itu semakin banyak kepentingan yang tidak terakomodasi. Konflik kepentingan akan terjadi, bila dua kelompok dirangkaikan bersama sedemikian rupa hingga kesenjangan living condition (syarat hidup) antara mereka kian bertambah. Sebaliknya, tidak ada konflik jika kedua kelompok dirangkaikan sedemikina rupa sehingga kesenjangan living condition antara mereka kian menurun sampai nol.
 

Konflik kepentingan secara implicit menyiratkan betapa strategisnya peran indicator ekonomi-politik. Konflik kepentingan itu terwujud semakin cepat jikalau terdapat kesenjangan dan penguasaan atas sekelompok lain secara berlebihan. 


Karena itu, konsep kepentingan lebih didasarkan pada suatu ideologi atau suatu premis atas dasar nilai persamaan. Jikalau dalam proses interaksi yang terbentuk sedemikina rupa menghasilkan ketimpangan ekonomi atau politik, hal itu dapat diartikan sebagai terabaikannya kelompok yang lebih lemah dan ini merupakan benih lahirnya konflik kepentingan.
 

Kenapa kelompok new comers berpeluang menjadi dominator, sementara kedudukan penduduk asli semakin marginal ?. Dalam berbagai studi etnisitas (Cohen 1974) dinyatakan : penduduk asli cenderung lebih malas di daerahnya sendiri dibandingkan dengan pendatang sebagai kelompok kepentingan.


Penduduk asli merasa lebih tenang secara psikologis karena merasa memiliki hak-hak istimewa, dan cenderung memiliki sikap mempertahankan status quo. Akibatnya, mereka kurang agresif, cenderung manja, dan memilih-milih pekerjaan. Sikap mental ini dianggap memiliki fungsi penting dalam membentuk penduduk asli menjadi komunitas kelas dua, malahan menjadi marginal.
 

Pemilihan antara penduduk asli dengan pendatang melalui katagorisasi beroposisi (binary opposition) dalam berbagai perilaku sosial dan atribut kultural bukanlah sesuatu yang baru yang terlalu dicemasi. Polarisasi beroposisi dalam banyak studi sosial dan kebudayaan malahan menjadi sebuah anugrah dan kekuatan yang selalu dipelihara dan diaktifkan melalui berbagai kegiatan.


Kita dan Mereka memang harus dibedakan, karena tidak mungkin dua katagori berbeda maknanya disatukan , kecuali melalui formasi ketiga. Di samping itu, melalui polarisasi beroposisi seperti itu, setiap katagori menjadi jelas identitas, wilayah, dan batasan maknanya.
 

Polarisasi yang berakibat konflik dan malahan membawa tragedi bagi kebudayaan manusia, dimulai ketika manusia berprasangka negatif terhadap pihak lain yang diperkuat dengan referensi dan justifikasi kultural. Sekolah boleh berbeda namanya, bangunannya, dan mata pelajarannya; partai boleh berbeda tanda gambar dan warna benderanya; dan berbagai atribut etnis dan agama lainnya pun demikian.


Tetapi secara substansial setiap lembaga pendidikan hendaknya selalu mengajarkan, mempraktekkan dalam pola tindakan kesalehan sosial dan sikap-sikap inklusif. Karena itu, harus ada etikad baik bagi setiap etnis untuk mau menghargai eksistensi etnis lain, dan harus pula ada niat baik untuk mempraksiskan etik sosial, demi terwujudnkan interaksi sosial, ketimbang menonjolkan penolakan sosial. Berbagai penolakan sosial baik atas nama agama dan atau politik agama hendaknya mampu meminimalkan melalui usaha tafsir dan penghalusan budi.
 

Jika tidak pernah dan mau kita berupaya, maka masyarakat modern telah menciptakan tragedinya sendiri karena kebudayaan telah direifikasi sebagai struktur yang dilakukan dan diformalkan. Dalam kondisi formalistik, setiap etnis akan berusaha membuat identitas cultural dan atau agama, sehingga identitas itu sendiri telah membuat polarisasi negative dan menjauhkan satu sama lain. 


Seharusnya segala bentuk formalisme hanya akan menimbulkan kekakuan dalam hubungan sosial. Padahal dalam kondisi ideal, budaya objektif seharusnya melayani yang subyektif, dan apabila hal ini terjadi, maka akan terwujud sebuah "pengembangan jiwa". Ironisnya, dalam dunia modern budaya objektif, baik secara material maupun non-material yang meliputi kemampuan untuk menerima, menghargai dan mengontrol budaya objektif, sehingga reifikasi budaya bisa terjadi. Ini adalah puncak krisis budaya modern yang diistilahkan Simmel sebagai "tragedi kebudayaan modern".
 

Kegagalan manusia mengatasi konflik disamping karena sifat formalistik yang semakin menonjol, juga karena proses moneterisasi. Uang yang merupakan sarana ekonomik, tetapi saat digunakan dalam masyarakat dipahami sebagai fenomena sosiologis, cendrung kehilangan material dasarnya karena menjadi alat interaksi. Ini berarti bahwa uang telah keluar dari kegiatan ekonomi dan memasuki daerah budaya yang lebih luas, seperti yang dinyatakan Weber (1978) bahwa moneterisasi merupakan proses mendasar yang terjadi dalam masyarakat, yang keberadaannya menjadi intelektualisasi sehingga masyarakat bergeser pada pemanfaatan logika kuantitatif.
 

Moneterisasi mempengaruhi perubahan mental pada tingkat individu dan menciptakan beberapa budaya intelek pada tingkat sosial. Budaya subjektifnya berubah dan menjadi bersifat objektif. Karena uang sendiri adalah nilai dan dikejar oleh manusia, maka cenderung berubah fungsi dari alat menjadi akhir. Dengan menggunakan analog agama, Simmel (dalam Turner 1992) menyatakan bahwa moneterisasi sosial pada dasarnya sama dengan "pertumbuhan spiritualisasi uang" atau menurut istilah Karl Marx, "fanatisme komoditas". Perbedaan kualitatifnya dari komoditas dibekukan menjadi bentuk uang sehingga uang dianggap sebagai sesuatut yang radikal, yang memiliki kapasitas membedakan segalanya secara kuantitatif.
 

MANAJEMEN KONFLIK
 

Agar polarisasi beroposisi tidak menimbulakan konflik, maka setiap komponen harus berusaha untuk tidak menundukkan yang lain, satu pihak tidak memandang negative pihak lain. Jikapun demikian dalam kenyataan terwujud struktur, maka superodinasi hendaknya tidak mendominasi subordinasi. Oleh karena itu, dalam hubungan sosiasi, interaksi timbal balik senantiasa perlu dipelihara. Artinya, dalam banyak hal superordinat harus mampu memperhitungkan kebutuhan dan keinginan subordinat sekalipun sebatas untuk mengontrol subordinate.
 

Karena itu, sejumlah langka manajemen konflik berbasis komunitas yang dirumuskan Prof. Bawa Atmaja, seperti 'katup pengaman', transformasi konflik, mengembangkan perilaku saling membantu, dan musyawarah untuk mufakat, dan mempersatukan tujuan pada dasarnya adalah sebuah langkah yang paralel dengan pemikiran Homans melalui proposisinya sebagai berikut: "semakin tinggi frekuensi interaksi antara dua atau lebih kelompok orang, semakin besar peluang suka-menyukai di antara orang itu". 


Dalam konteks manajemen konflik, jika terdapat dua atau lebih kelompok etnis yang berkonflik, maka cara yang terbaik untuk mengelola agar kelompok yang berkonflik semakin mendekat adalah melalui peningkatan frekuensi interaksi di antara mereka.
 

Gaya menghindar adalah sebuah cara yang juga cukup efektif untuk menunda konflik. Namun kondisi ini tentu tidak dapat dibiarkan terlalu lama, sehingga diperlukan adalah langkah konkrit untuk menciptakan meditasi. Dalam hubungan ini terdapat tiga pola sosiasi yang patut dipertimbangkan, yaitu:
 

1. Subordinasi di bawah seorang individu secara khas dapat munumbuhkan rasa persatuan dan ikatan emosional di kalangan subordinat di satu pihak. Akan tetapi, pada pihak lain hubungan ini sering kali memancing oposisi, pertentangan, dan secara ekstrim menjadi perlawanan. 


Kedua hal itu menunjukan kecenderungan berbeda, yaitu yang pertama menumbuhkan unifikasi melalui identifikasi bersama dari subordinate terhadap pimpinan. Kedua kemungkinan menghasilkan unifikasi melalui oposisi bersama. Artinya bagi Simmel, baik unifikasi identifikasi maupun oposisi dapat disatukan oleh kerelaan mereka untuk mengikuti pimpinan sekaligus menentang dan melakukan perlawanan terhadap superordinat.


2. Subordinasi di bawa suatu pluralitas individu memiliki objektivitas lebih baik sehingga dapat menghasilkan perlakuan yang adil, merata, dan manusiawi terhadap subordinat. Sebaliknya, jikalau para superordinat yang terdiri atas banyak orang terlibat dalam konflik, subordinat sering kali dijadikan pion dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan mereka dengan tingakat ketaatan penuh kepada pihak yang berselisih.
 

3. Subordinasi dibawa suatu prinsip yang berlaku dibawa tatanan interaksi ini cenderung meminimalkan konflik karena secara ideal setiap orang diperlakukan sama dan sekaligus membatasi kesewenangan seorang superordinat terhadap subordinat. Simmel mengatakan hubungan jenis ini dengan prisip moral hati nurani dan sebagai perintah moral yang transendem, yang secara objektif diakui tanpa memandang definisi sosial yang ada, atau malahan bertentangan dengan definisi yang telah ada.
 

Pola sosiasi yang ketiga secara jelas menekankan prinsip moral hati nurani dan perintah moral yang terasenden. Artinya, manajemen konflik berbasis individu personal merupakan hal yang tidak dapat diabaikan atau diletakkan di bawah manajemen berbasis komunitas dan masyarakat politik. 


Kearifan yang bersumber dari perintah moral yang transden perlu terus disosialisasikan dan dienkulturasi melalui manajemen berbasis personal-individu. Sebab semua itu memerlukan disiplin diri, kemauan untuk melatih diri dalam menundukan musuh dalam diri sendiri, dan tindakan praksis sebagai implementasi dari semangat itu. Inilah inti dari manajemen konflik berbasis diri sendiri, melengkapi manajemen berbasis komunitas dan masyarakat politik.
 

Manajemen berbasis diri sendiri barangkali sebuah terminologi yang mudah dirumuskan, tetapi tidak mudah dilaksanakan jika dalam diri kita masih ada rasa dengki, iri hati, pendendam, pemarah, fitnah, dan seterusnya kepada pihak lain. Karena sifat-sifat tersebut mempersempit atau menghalagi kesadaran diri yang cenderung melahirkan sifat keakuan. Karena itu, ajaran ini baru menjadi pola tindakan, jika telah dilaksanakan sebagai disiplin, karena agama adalah praktek dan disiplin diri.
 

Manajemen konflik berbasis diri sendiri, menuntut kemampuan kita mengendalikan enam kelemahan manusia , yaitu: (1). Kesadaran akan realitas yang cenderung melemah; (2). Keakuan yang cenderung meningkat; (3). Ketertarikan akan objek pesona semakin menjadi-jadi; (4). Kebencian yang tidak menyenangkan semakin menyebabkan stress; dan (5). Ketakutan menghadapi kematian menambah kita lebih stress lagi.
 

Selain manajemen berbasis personal-individu, diperlukan adanya manajemen konflik berbasis politik dan hukum, dalam bentuk keputusan politik dan perangkat Perundang-undangan.
 

Untuk meminimalisir konflik dalam tatanan sosial diperlukan manajemen yang meliputi:
 

(1). Mengaktifkan kembali berbagai wadah yang telah ada yang memungkinkan setiap etnis dan umat beragama memperoleh kedudukan dan penghargaan yang relatif sama, sehingga melalui wadah itu peluang kontak, komunikasi, dan interaksi antar etnis dan umat beragama semakin terbuka.

 
(2). Perlu terus digelorakan agree in disagreement di kalangan para pimpinan etnis dan elit agama. Melalui peran tokoh ini pula dapat diteruskan kepada komunitas umat melalui berbagai aktivitas. Hal ini baru dapat terwujud, jika setiap elit agama memiliki persepsi yang sama pula.
 

(3). Memperbanyak adanya dialog antar etnis dan umat beragama, sebab dengan tindakan ini dapat saling diwujudkan adanya saling pengertian dan memahami satu sama lain. Jikalau memungkinkan hal ini dapat diteruskan dalam bentuk tindakan atau aktifitas bersama, sehingga dengan meningkatkan frekuensi interaksi di antara sesama umat membuka peluang tumbuhnya saling menghargai dan menghormati di antara mereka. Tindakan di atas, diharapkan secara berangsur dapat menghapuskan sikap ekslusif dan tak peduli atas hak dan perasaan orang lain. Saling menghormati dalam realitas sosial barangkali dapat diwujudkan saling memberikan ucapan kepada mereka yang sedang merayakan hari raya keagamaan dan sejenisnya.
 

(4). Upaya tersebut di atas tidak dengan sendirinya dapat menciptakan situasi rukun diantara sesama umat dan atau antar umat beragama. Terciptanya kondisi rukun juga didorong oleh faktor-faktor lain, seperti situasi politik yang tidak menentu, semakin terbukanya keran demokratisasi secara absolut dapat menimbulakan berbagai tindakan main hakim sendiri yang pada gilirannya akan berpengaruh terhadap kerukunan antar umat beragama. Kondisi kesenjangan ekonomi antar etnis yang dapat dipolitisasi menjadi antar agama, dapat pula menyebabkan mengedepannya konflik antar pemeluk agama yang berbeda.
 

(5). Kendala-kendala itu hanya dapat diminimalkan jikalau setiap orang mampu menahan diri dan percaya kepada institusi formal sebagai primus inter parus yang dapat dianggap sebagai titik tolak mencari momen, institusi, dan orang yang lebih dapat dipercaya. *


MEDIA SELAYAR WHILE IMPROVEMENT OF WEB  
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Manajemen Konflik Dalam Tatanan Sosial Oleh: Hamka Hakim, Dosen Universitas Satria Makassar

Trending Now

Iklan