Politik Uang = Politik Perut Sangat Merendahkan Harga Diri Rakyat

Media Selayar
Rabu, 06 Maret 2019 | 22:58 WIB Last Updated 2020-05-05T04:54:05Z
selayar

MEDIA SELAYAR. Politik uang atau dikenal juga dengan istilah Politik perut adalah suatu bentuk pemberian uang, barang atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih calon dan Partai tertentu atau sebaliknya memilih calon dan Partai tertentu pada saat pemilihan umum.

Politik Uang atau Politik Perut ini sangat berbahaya dalam membangun sebuah proses demokrasi yang bersih karena perannya yang sangat berdampak merusak :

Pertama, Politik Uang Sangat Merendahkan Martabat Rakyat. Para calon atau Partai tertentu yang menggunakan Politik Uang untuk menentukan siapa yang harus dipilih dalam Pemilu telah secara nyata merendahkan martabat rakyat.

Suara dan martabat Rakyat dinilai dengan bahan makanan atau uang yang sebenarnya nilainya tidak sebanding dengan apa yang akan didapat selama 5 tahun sang Calon menduduki kursi yang berhasil direbut dengan cara ini.

Proses ini jelas merupakan pembodohan massal karena rakyat dikelabui dan dibodohi hanya dengan mengeksploitasi kepentingan sesaat mereka.

Penderitaan mereka akibat kebijakan yang keliru selama sang calon menjabat atau akibat penerapan sistem yang tidak adil dan bersifat menindas kelas sosial tertentu ditutup rapat-rapat dan dikelola secara baik untuk kepentingan sang calon menaiki tampuk kekuasaan.

Ada kecenderungan, Politik Uang sengaja dipelihara dengan cara lebih dulu memelihara penderitaan rakyat agar bisa dikelola setiap momen pesta demokrasi.

Kedua, Politik Uang merupakan Jebakan buat Rakyat. Seseorang yang menggunakan Politik Uang untuk mencapai tujuannya sebenarnya sedang menyiapkan perangkap untuk menjebak rakyat. Rakyat dalam hal ini tidak diajak untuk sama-sama memperjuangkan agenda perubahan, tetapi diarahkan untuk hanya memenangkan sang calon semata.

Setelah calon terpilih maka tidak ada sesuatu yang akan diperjuangkan karena sang calon akan sibuk selama 5 tahun atau periode tertentu untuk mengembalikan semua kerugiannya yang telah dikeluarkan untuk menyuap para pemilih.

Kondisi akan lebih para jika misalnya, calon telah meminta bantuan konglomerat tertentu untuk menyediakan dana kampanye yang dipakai untuk menjalankan Politik Uang.

Sudah bisa dipastikan, berdasarkan pengalaman yang ada, sang calon ketika dipilih oleh rakyat yang telah dibayar, akan sibuk mengabdi selama 5 tahun melayani semua kepentingan dan kemauan sang konglomerat karena dialah yang menjadi donatur bagi sang calon.

Di Legislatif akan terjadi sebuah pelayanan terhadap sang donatur dalam bentuk kolaborasi kepentingan dalam Badan Anggaran sehingga muncul mafia anggaran yang mengelola proyek fiktif, proyek rendah mutu dan proyek dengan penggelembungan harga atau mark-up.

Semua ini dilakukan dalam rangka membahagiakan sang donatur dan secara nyata akan merugikan rakyat pemilih.

Ketiga, Politik Uang Mematikan Kaderisasi Politik. Kaderisasi Politik akan mati total jika terjadi Politik Uang dalam Pemilu.

Sang calon merasa tidak terbeban kepada pemilih karena akan menganggap keheberhasilannya sebagai sesuatu yang telah dibeli dari rakyat saat terjadi transaksi jual-beli suara. sebagai konsekwensinya sang calon akan sibuk mempertahankan kekuasaannya di posisi tersebut dan akan tetap maju sebagai kandidat di periode selanjutnya.

Sumber daya politik dan dana yang dikumpulkan akan dipakai untuk kepentingan diri sendiri dari periode ke periode. Disinilah terjadi kematian terhadap kaderisasi karena sang calon tidak akan dengan rela melepaskan kekuasaannya karena memang tidak ada kader yang dia siapkan.

Buktinya ada banyak, bisa ditemui di berbagai daerah dimana seorang anggota legislatif tetap menempati posisi tersebut sampai tua, bahkan meninggal dalam posisi sebagai anggota legislatif aktif.

Keempat, Politik Uang akan Berujung pada Korupsi. Korupsi yang marak terjadi adalah sebuah bentuk penyelewengan APBD dimana terjadi kerjasama antara eksekutif dan legilatif. Kehadiran Legislatif dengan fungsi kontrol atau pengawasan tidak berfungsi secara maksimal.

Poin ini ada kaitan dengan point kedua diatas, dimana motifasi dilakukannya korupsi adalah untuk mengembalikan kerugian yang terjadi saat kampanye dimana sang calon telah melakukan Politik Uang dalam rangka membodohi rakyat untuk kepentingan meraup suara.

Kelima, Politik Uang Membunuh Transformasi Masyarakat. Transformasi atau perubahan sebuah masyarakat ke arah yang lebih baik akan terhambat, bahkan mati jika proses demokrasi didominasi dengan Politik Uang.

Perubahan yang diimpikan jelas tidak akan tercapai karena sang calon, ketika menang, akan menghabiskan seluruh energinya untuk mengembalikan semua kerugian yang telah dikeluarkan selama kampanye, utamanya kerugian yang terjadi akibat jual-beli suara dalam kerangka Politik Uang.

Sang Calon secara nyata tidak akan merasa terbeban karena menganggap bahwa dia telah membeli suara dan kondisi keterpurukan masyarakat tidak menjadi urusan dia.

Kita bisa dengan mudah membuktikannya dari pengalaman yang ada, dimana Tanah Papua dilanda begitu banyak soal kronis tetapi seolah-olah persoalan ini hanya menjadi tanggungjawab aktivis Mahasiswa dan LSM untuk menyuarakan perubahan, sementara mereka yang dipilih sebagai anggota legislatif lebih sibuk dengan persoalannya sendiri.

Pada titik ini, para anggota legislatif tidak bisa disalahkan karena memang dia tidak pernah merasa  terbeban dengan persoalan rakyat akibat Politik Uang tadi.(*)
Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Politik Uang = Politik Perut Sangat Merendahkan Harga Diri Rakyat

Trending Now

Iklan