Siaran Pers AJI, IJTI, PWI Memprotes Draft Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja

Media Selayar
Selasa, 18 Februari 2020 | 16:38 WIB Last Updated 2020-02-18T08:38:11Z
MEDIA SELAYAR. Tiga organisasi anggota Dewan Pers, yakni PWI, IJTI dan AJI, ditambah LBH Pers, mengeluarkan Siaran Pers,

Siaran Pera menyatakan protes terhadap draft Rancangan Undang-Undang Cipta
Lapangan Kerja yang diajukan pemerintah ke DPR.

Draft RUU tersebut hasil dari konsep Omnibus Law untuk merampingkan
dan merevisi sejumlah undang-undang yang berlaku saat ini.

Pemerintah menargetkan draft Omnibus Law RUU bisa dibahas dan disahkan oleh DPR dalam waktu 100 hari.

Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja sejak lama diprioritaskan pemerintahan periode kedua Presiden Jokowi untuk menggenjot investasi.

Karena itu, pasal-pasal di sejumlah peraturan perundang-undangan yang
dinilai menghambat investasi, akan disederhanakan bahkan dihapus.

Setidaknya ada 1.244 pasal dari 79 undang-undang yang sedang digodok
dalam RUU Cipta Lapangan Kerja.

Selain mengatur soal investasi, RUU ini juga memasukkan revisi sejumlah
pasal dalam Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

Setidaknya ada dua pasal yang akan diubah, yaitu soal modal asing dan
ketentuan pidana.

Rincian dari pasal asli dan usulan revisi, ada di bawah
ini:

Undang Undang No. 40 tentang Pers Revisi dalam Omnibus Law RUU Cilaka
Pasal 11 Pasal 11. Penambahan modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasar modal.

Pemerintah Pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang
penanaman modal.

Pasal 18 Pasal 18

(1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta

. (1) Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan
ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp 2 miliar.

(2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat
(2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak
Rp 500 juta. (2) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat
(1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling
banyak Rp 2 miliar.

(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal
12 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100 juta.

(3) Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 9 ayat (2) dan Pasal
12 dikenai sanksi administratif.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, besaran denda, tata cara, dan
mekanisme pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Atas usulan revisi pasal Undang Undang Pers yang disodorkan pemerintah,
AJI, IJTI, PWI dan LBH Pers menyatakan sikap:

1. Menolak adanya upaya pemerintah untuk campur tangan lagi dalam
kehidupan pers.

Niat untuk campur tangan lagi ini terlihat dalam Ombnibus Law yang akan membuat peraturan pemerintah soal pengenaan sanksi administratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar pasal 9 dan pasal 12.

Pasal 9 memuat ketentuan soal perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Pasal 12 mengatur soal perusahaan pers yang wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggunga Jawabnya secara terbuka.

Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi payung
hukum kebebasan pers saat ini, dibentuk dengan semangat self regulatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya.

Semangat itu tak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk dimasa Orde Baru, di mana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang pers.

Campur tangan itu ditunjukkan melalui adanya kewenangan pemerintah untuk mencabut SIUPP (Surat Izin Usaha Penerbitan Pers), mengendalikan Dewan Pers dengan menempatkan Menteri Penerangan sebagai ketua secara ex-officio,

Dan menetapkan hanya satu organisasi wartawan yang diakui. Instrumen-
instrumen itulah yang kemudian dipakai oleh pemerintah untuk mengendalikan dan mengekang pers.

Lahirnya Undang Undang Pers tahun 1999 memiliki semangat untuk
mengoreksi praktik buruk pemerintah Orde Baru dalam mengekang pers.

Semangat itu tercermin antara lain dengan menegaskan kembali tak
adanya sensor dan pembredelan, Dewan Pers yang dibentuk oleh
komunitas pers dan tanpa ada wakil dari pemerintah seperti masa Orde
Baru.

Undang-undang itu juga memberikan kewenangan kepada Dewan Pers untuk menyusun ketentuan lebih operasional dari undang-undang itu.

Artinya, kewenangan untuk mengimplementasikan undang-undang ini berada sepenuhnya di tangan Dewan Pers, bukan melalui peraturan
pemerintah seperti dalam undang-undang pada umumnya.

Dengan membaca RUU ini, yang di dalamnya ada usulan revisi agar
ada Peraturan pemerintah yang mengatur soal pengenaan sanksi
administratif, itu adalah bentuk kemunduran bagi kebebasan pers.

Ini sama saja dengan menciptakan mekanisme “pintu belakang” (back dor), atau "jalan tikus”, bagi pemerintah untuk ikut campur urusan pers.

AJI mengkhawatirkan hal buruk di masa Orde Baru akan terulang, di mana pemerintah menggunakan dalih soal administratif untuk mengekang pers.

Kami meminta revisi pasal ini dicabut.

2. Menolak dinaikkannya sanksi denda bagi perusahaan pers. Dalam
usulannya, pemerintah mengajukan revisi soal sanksi denda bagi
perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2),
serta Pasal 13, menjadi paling banyak Rp 2 miliar –naik dari sebelumnya
Rp 500 juta. Pasal 5 ayat 1 mengatur tentang “Pers nasional berkewajiban
memberitakan peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma
agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.

Pasal 5 ayat 2 berisi ketentuan soal “Pers wajib melayani Hak Jawab. Pasal
13 mengatur soal larangan pemuatan iklan yang antara lain merendahkan
martabat suatu agama dan atau mengganggu kerukunan hidup antarumat beragama, serta bertentangan dengan rasa kesusilaan masyarakat.

Kami mempertanyakan urgensi menaikkan denda sampai lebih dari 400
persen, dari Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar. Secara prinsip kami setuju
ada sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh pers.

Namun, sanksi itu hendaknya dengan semangat untuk mengoreksi atau mendidik. Dengan jumlah denda yang sebesar itu, kami menilai semangatnya lebih bernuansa balas dendam.

Adanya sanksi sebesar itu juga bisa dijadikan alat baru untuk mengintimidasi pers. Oleh karena itu, kami meminta usulan revisi pasal ini dicabut.

3. Menuntut konsistensi pemerintah dalam menerapkan Undang Undang
Pers. Kami menilai bahwa undang-undang itu selama ini dinilai masih
memadai untuk melindungi kebebasan pers asalkan dilaksanakan dengan
konsisten.

Menaikkan sanksi denda bagi orang yang melanggar pasal 4 ayat
2 dan 3 adalah bukan solusi untuk menegakkan UU Pers. Ayat 2 mengatur
soal “Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan
atau pelarangan penyiaran”, ayat 3 berisi jaminan bagi “pers nasional
dalam mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan
informasi.”

Namun bagi kami yang lebih utama adalah bagaimana konsistensi dalam
implementasinya. Selama ini, tindakan orang yang dinilai melanggar dua
ayat itu antara lain berupa kekerasan terhadap wartawan saat
menjalankan tugasnya.

Tindakan itu dikategorikan sebagai melanggar pasal 4 ayat 3 Undang Undang Pers, tapi juga masuk kategori pidana dalam

KUHP. Selama ini para pelaku kekerasan terhadap wartawan itu lebih
sering dijerat dengan KUHP, yang hukumannya lebih ringan.

Jika aparat penegak hukum ingin melindungi kebebasan pers, mereka
harusnya menggunakan Undang Undang Pers yang sanksinya lebih berat,
yaitu bisa dikenai 2 tahun penjara atau denda Rp 500 juta.

Jika sanksi yang sudah ada selama ini saja jarang dipakai, menjadi pertanyaan bagi kami untuk apa pemerintah mengusulkan revisi terhadap pasal ini?

Kami menangkap kesan pemerintah seperti menjalankan politik “lip service”,
pencitraan, untuk mengesankan melindungi kebebasan pers, dengan cara
menaikkan jenis sanksi denda ini.

Bagi kami, yang jauh lebih substantif
yang bisa dilakukan pemerintah adalah konsistensi dalam implementasi
penegakan hukum Undang Undang Pers.

Siaran pers ini, dikeluarkan atas nama Ketua Umum AJI, Abdul Manan, Ketua
Bidang Advokasi AJI, Sasmito, Wasekjen Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia
(IJTI) Pusat, Wahyu Triyogo, Ketua Bidang Advokasi Persatuan Wartawan
Indonesia, Ochtap Riady, dan Direktur LBH Pers, Ade Wahyudin (***).

Komentar
komentar yang tampil sepenuhnya tanggung jawab komentator seperti yang diatur UU ITE
  • Siaran Pers AJI, IJTI, PWI Memprotes Draft Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja

Trending Now

Iklan