Menurut Dosen Hukum Perlindungan Konsumen & Kebijakan Publik Pascasarjana Universitas Pasundan Bandung, Firman Turmantara Endipradja, pengembalian sisa iuran harus dilakukan jika pemerintah konsisten terhadap konsep Equality Before the Law dan Rule of Law.
Pemerintah dan BPJS harus mulai menyusun konsep bagaimana teknis pengembalian uang masyarakat dengan membuat regulasi atau tupoksi agar aparat di lapangan tidak kebingungan. Hal ini pun bisa memberikan kepastian hukum bagi konsumen.
Pemerintah dalam bersikap dan bertindak. Semua itu didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku pada suatu tempat dan waktu tertentu atas rakyatnya.
Doktrin rechtsstaat atau rule of law, kata dia, hanya bisa tumbuh di negara yang menganut demokrasi.
Tanpa negara hukum dan demokrasi, yang hadir hanyalah paham totaliter, fasis, absolut, dan represif."Politik jadi panglima di mana hukum menjadi alat mempertahankan kekuasasaan yang tidak sejalan dengan Pemerintah.
Wujud seperti inilah yang dinamakan negara kekuasaan (machtsstaat)," jelas pria yang juga menjabat sebagai Ketua HLKI Jabar Banten DKI Jakarta ini.
Menurut dia, pembuat Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang perubahan atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan seharusnya malu sampai MA membatalkan hasil kerjanya.
Artinya, tutur Firman, tidak sedikit peraturan presiden yang bertolak belakang dengan kondisi dan aspirasi masyarakat karena melanggar aspek sosiologis dan aspek filosofis, meskipun dari aspek yuridis sudah benar.
Dia mengatakan, dibatalkannya Perpres ini menunjukkan konstruksi hukum di Indonesia sudah terbalik-balik alias "crowded" (krodit).
Konsep Omnibus Law juga menurutnya sudah melenceng dari makna sesungguhnya.
"Konstitusi dilabrak, hukum lingkungan dan tata ruang, hukum pertanahan diterabas, label halal akan dihilangkan, sanksi pidana bagi pelaku usaha akan dihilangkan, hak-hak buruh dilanggar, kebebasan pers terusik, hak adat," ungkap dia.
Selain itu, juga dibuatnya peraturan tentang pengenaan sanksi kepada masyarakat yang menunggak iuran dengan tidak melakukan pelayanan publik.
Sementara pelayanan publik sudah diamanatkan oleh UUD 1945 dan diatur oleh UU No.25 Tahun 2009.
"Sepertinya saat ini ada pemikiran bahwa yang penting produk hukum dibuat dulu, urusan belakangan.
Nantinya jika ada gugatan dari masyarakat adalah tidak penting karena sudah ada mekanismenya," tutur Firman.
Menurut dia, pemikiran ini mengesampingkan aspek profesionalisme sehingga sistem dan konstruksi hukum jadi amburadul.
"Harapan kita, semoga kondisi ketidak pastian dan kekacauan hukum ini segera berakhir dan kembali kepada mekanisme dan 'rotasi hukum' yang sudah tertuang dalam konstitusi," ungkapnya. (***)