MEDIA SELAYAR. Ramai dan menarik menjadi bahan diskusi publik terkait tagar Indonesia Terserah. Sejumlah netizen juga mengomentari hal ini, diantaranya ada yang menumpahkan kekesalan dan ada juga yang membenarkan.
Sejumlah akun yang diketahui adalah tenaga medis menumpahkah kekesalan terhadap 'kebijakan pemerintah yang berpotensi memperluas penyebaran Covid-19' dengan menggunakan tagar #Indonesiaterserah di media sosial.
Beberapa hari berselang, pemerintah merespon, meminta mereka tak kecewa dan nyatakan tenaga medis wajib dilindungi.
Beberapa kebijakan yang disoroti tenaga medis di antaranya adalah pengecualian pergerakan masyarakat keluar kota hingga diperbolehkannya warga berusia di bawah 45 tahun di 11 sektor yang dibolehkan kembali bekerja di kantor.
Di sisi lain, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo mengatakan pemerintah berharap tenaga kesehatan tidak menjadi kecewa.
Ia mengatakan sejak awal pemerintah selalu meminta masyarakat untuk melakukan upaya-upaya untuk mengurangi penularan Covid-19 karena jika jumlah kasus meningkat, dokter dan perawat akan kerepotan.
"Jangan kita biarkan dokter-dokter kita kelelahan. Jangan biarkan dokter kita kehabisan waktu dan tenaga. Mereka telah menghabiskan waktu, tenaga, bahkan mempertaruhkan nyawanya untuk keselamatan bangsa Indonesia. Oleh karenanya wajib kita lindungi," kata Doni (18/05).
Indonesia, kata Doni, memiliki jumlah dokter yang sedikit jika dibandingkan dengan negara-negara lain, yakni kurang dari 200.000 orang. Sementara, jumlah dokter paru-paru, kata Doni, hanya 1.976.
"Kalau kita kehilangan dokter, ini adalah kerugian yang besar bagi bangsa kita," kata Doni (18/05).
Sebelumnya, tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Dokter Brian Sriprahastuti, menegaskan bahwa pemerintah tetap konsisten menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Evi Rismawati, seorang tenaga kesehatan di salah satu puskesmas di Surakarta, Jawa Tengah, ikut membagikan fotonya yang memegang tulisan 'Indonesia Terserah' di akun media sosialnya.
Evi, tenaga kefarmasian di puskemas itu mengatakan ia menyayangkan kebijakan pemerintah.
"Kecewa sama kebijakan pemerintah yang cenderung tumpang tindih. Yang 'A' bilang begini, yang 'B' bilang begini, jadi mereka nggak sinkron satu sama lain," ujar Evi.
"Itu kan menyulitkan kami yang [bekerja] di [pelayanan] kesehatan. Kalau misalnya ada apa-apa, pasien tambah, otomatis kami yang repot."
Salah satu kebijakan yang disorot Evi adalah terkait kebijakan larang mudik yang kontradiktif dengan pengecualian pergerakan masyarakat ke daerah lain.
"Ada larangan mudik, terus tiba-tiba bandara dibuka. Itu otomatis bertolak belakang. Ngapain bikin peraturan begitu, kalau akhirnya nggak bisa dijalankan dengan maksimal?" ujarnya.
Ia juga menyayangkan masih terlihatnya kerumuman di daerahnya.
"Kalau ada insentif bagi tenaga kesehatan yang dibicarakan di TV, kami sama sekali belum menerima dan nggak menuntut itu. Yang penting kami [memberi] pelayanan seperti biasa," kata Evi
"Tapi kami minta tolong masyarakat harus benar-benar sadar diri bagaimana harus menyikapi hal ini. Kalau nggak terpaksa keluar rumah, jangan keluar rumah."
Jumardi, perawat di sebuah fasilitas kesehatan di Samarinda, Kalimantan Timur, ikut mengunggah foto dirinya dengan APD dengan tagar #Indonesiaterserah di media sosialnya.
Jumardi, yang tak bersedia fotoya ditautkan ke laman BBC, mengatakan ia kecewa saat membaca berita bahwa pemerintah mengizinkan sekelompok orang kembali bekerja seperti biasa.
"Pemerintah ingin menghambat atau memutus pandemi Covid-19, tapi justru malah membuat kebijakan yang membebaskan orang umur 45 tahun ke bawah beraktivitas seperti biasanya," ujarnya.
Jumardi mengatakan khawatir hal itu akan meningkatkan jumlah kasus positif Covid-19.
"Khawatirnya ketika penderita makin banyak, [kami] takut fasilitas kesehatan tidak cukup untuk menampung pasien Covid-19 dan tenaga kesehatan kewalahan dalam penanganannya."
"Kami pakai APD tapi tetap was-was," katanya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Dokter Brian Sriprahastuti mengatakan pemerintah memahami beban dan tanggung jawab para tenaga kesehatan.
" Sesuai prinsip PSBB, individu masih boleh beraktivitas tapi dibatasi, termasuk work from home (bekerja dari rumah) dengan pengecualian," ujarnya dalam pesan tertulis pada BBC News Indonesia. (*)
Beberapa kebijakan yang disoroti tenaga medis di antaranya adalah pengecualian pergerakan masyarakat keluar kota hingga diperbolehkannya warga berusia di bawah 45 tahun di 11 sektor yang dibolehkan kembali bekerja di kantor.
Di sisi lain, Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Doni Monardo mengatakan pemerintah berharap tenaga kesehatan tidak menjadi kecewa.
Ia mengatakan sejak awal pemerintah selalu meminta masyarakat untuk melakukan upaya-upaya untuk mengurangi penularan Covid-19 karena jika jumlah kasus meningkat, dokter dan perawat akan kerepotan.
"Jangan kita biarkan dokter-dokter kita kelelahan. Jangan biarkan dokter kita kehabisan waktu dan tenaga. Mereka telah menghabiskan waktu, tenaga, bahkan mempertaruhkan nyawanya untuk keselamatan bangsa Indonesia. Oleh karenanya wajib kita lindungi," kata Doni (18/05).
Indonesia, kata Doni, memiliki jumlah dokter yang sedikit jika dibandingkan dengan negara-negara lain, yakni kurang dari 200.000 orang. Sementara, jumlah dokter paru-paru, kata Doni, hanya 1.976.
"Kalau kita kehilangan dokter, ini adalah kerugian yang besar bagi bangsa kita," kata Doni (18/05).
Sebelumnya, tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Dokter Brian Sriprahastuti, menegaskan bahwa pemerintah tetap konsisten menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Evi Rismawati, seorang tenaga kesehatan di salah satu puskesmas di Surakarta, Jawa Tengah, ikut membagikan fotonya yang memegang tulisan 'Indonesia Terserah' di akun media sosialnya.
Evi, tenaga kefarmasian di puskemas itu mengatakan ia menyayangkan kebijakan pemerintah.
"Kecewa sama kebijakan pemerintah yang cenderung tumpang tindih. Yang 'A' bilang begini, yang 'B' bilang begini, jadi mereka nggak sinkron satu sama lain," ujar Evi.
"Itu kan menyulitkan kami yang [bekerja] di [pelayanan] kesehatan. Kalau misalnya ada apa-apa, pasien tambah, otomatis kami yang repot."
Salah satu kebijakan yang disorot Evi adalah terkait kebijakan larang mudik yang kontradiktif dengan pengecualian pergerakan masyarakat ke daerah lain.
"Ada larangan mudik, terus tiba-tiba bandara dibuka. Itu otomatis bertolak belakang. Ngapain bikin peraturan begitu, kalau akhirnya nggak bisa dijalankan dengan maksimal?" ujarnya.
Ia juga menyayangkan masih terlihatnya kerumuman di daerahnya.
"Kalau ada insentif bagi tenaga kesehatan yang dibicarakan di TV, kami sama sekali belum menerima dan nggak menuntut itu. Yang penting kami [memberi] pelayanan seperti biasa," kata Evi
"Tapi kami minta tolong masyarakat harus benar-benar sadar diri bagaimana harus menyikapi hal ini. Kalau nggak terpaksa keluar rumah, jangan keluar rumah."
Jumardi, perawat di sebuah fasilitas kesehatan di Samarinda, Kalimantan Timur, ikut mengunggah foto dirinya dengan APD dengan tagar #Indonesiaterserah di media sosialnya.
Jumardi, yang tak bersedia fotoya ditautkan ke laman BBC, mengatakan ia kecewa saat membaca berita bahwa pemerintah mengizinkan sekelompok orang kembali bekerja seperti biasa.
"Pemerintah ingin menghambat atau memutus pandemi Covid-19, tapi justru malah membuat kebijakan yang membebaskan orang umur 45 tahun ke bawah beraktivitas seperti biasanya," ujarnya.
Jumardi mengatakan khawatir hal itu akan meningkatkan jumlah kasus positif Covid-19.
"Khawatirnya ketika penderita makin banyak, [kami] takut fasilitas kesehatan tidak cukup untuk menampung pasien Covid-19 dan tenaga kesehatan kewalahan dalam penanganannya."
"Kami pakai APD tapi tetap was-was," katanya.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Dokter Brian Sriprahastuti mengatakan pemerintah memahami beban dan tanggung jawab para tenaga kesehatan.
" Sesuai prinsip PSBB, individu masih boleh beraktivitas tapi dibatasi, termasuk work from home (bekerja dari rumah) dengan pengecualian," ujarnya dalam pesan tertulis pada BBC News Indonesia. (*)