MEDIA SELAYAR. Hingga saat ini pengelolaan dana desa terus menjadi perhatian publik di tanah air. Bukan apanya, ratusan juta anggaran negara dan hak rakyat tersebut kerap diselewengkan oleh mereka yang menjadi penangungjawabnya. telah banyak contoh didepan mata kita bahwa pengelolaan anggaran desa kerap menjadi batu sandungan seorang kepala desa harus berhadapan dengan aparat penegak hukum dan berujung penjara.
Namun tetap saja ada setiap tahunnya, terdengar bahwa kades diringkus karena kesalahannya mengelola dana desa. Bagaimana dengan di Kepulauan Selayar ? akankah bertambah kasus dana desa ? Semoga tidak lagi.
Belum lagi sejumlah dugaan penyimpangan anggaran dana desa telah bergulir namun belum diketahui ujung pangkal penanganannya. Entah benar atau tidak ada backing pengelolaan dana desa yang penting setoran lancar atau hal ini hanyalah issu belaka, entahlah.
Yang pasti, banyak informasi mengenai dugaan penyimpangan anggaran negara di desa tidak mendapat respon dan terkesan hanya opini yang beredar bahwa opini tersebut tidak akan tersentuh aparat penegak hukum karena tidak ada bukti.
Tidak terbantahkan, jika sebuah penyalahgunaan wewenang kemungkinan akan terjadi karena ada kesempatan yang terbuka. Dana Desa misalnya, berbagai modus korupsi dana desa ini sesungguhnya bisa diantisipasi jika warga desa dan berbagai perangkat yang memiliki wewenang melakukan pengawasan aktif memonitor setiap langkah yang dilakukan dengan pembelanjaan dana desa.
Dikutip dari laman Kompas.com, ICW akhir bulan Nopember 2018 lalu melansir data, sejak bergulir tahun 2015 hingga saat ini, dana desa yang sudah digelontorkan pemerintah berjumlah Rp 186 triliun. Dana ini sudah disalurkan ke 74.954 desa di seluruh wilayah Indonesia. Dalam perkembangannya, dana desa yang berlimpah tersebut rawan praktik korupsi.
Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch ( ICW) sejak tahun 2015 hingga Semester I 2018, kasus korupsi dana desa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
“Tercatat sedikitnya sudah ada 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar Rp 40,6 miliar,” kata peneliti ICW Egi Primayogha, dalam keterangan tertulisnya.
Tercatat, ada 17 kasus pada tahun 2015. Pada tahun kedua, jumlahnya meningkat menjadi 41 kasus. Sementara, pada 2017, korupsi dana desa melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi 96 kasus.
“Sementara pada semester I tahun 2018, terdapat 27 kasus di desa yang semuanya menjadikan anggaran desa sebagai objek korupsi,” kata Egi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menengarai, modus korupsi dana desa sebenarnya memiliki pola yang sama seperti pengadaan barang dan jasa yang tidak sesuai alias fiktif, mark up anggaran, tidak melibatkan masyarakat dalam musyawarah desa dan penyelewengan dana desa untuk kepentingan pribadi adalah beberapa pola yang banyak dilakukan, ditambah lagi lemahnya pengawasan adalah salahsatu penyebab suburnya korupsi dana desa.
Seperti dilansir di laman Theeast.co.id, Beberapa waktu lalu Indonesian Corruption Watch (ICW) melakukan penelitian mengenai modus korupsi dana desa.
Peneliti ICW Egi Primayoga memaparkan hasil penelitiannya, ada 12 modus korupsi dana desa yang disimpukan ICW berdasar penelitiannya. Modus itu antara lain:
Membuat rancangan anggaran biaya di atas harga pasar. Ini bisa diantisipasi jika pengadaan dilakukan secara terbuka dan menggunakan potensi lokal desa. Misalnya, pengadaan bahan bangunan di toko bangunan yang ada di desa sehingga bisa melakukan cek bersama mengenai kepastian biaya atau harga-harga barang yang dibutuhkan.
Mempertanggungjawabkan pembiayaan bangunan fisik dengan dana desa padahal proyek tersebut bersumber dari sumber lain. Modus ini hanya bisa terlihat jika pengawas memahami alokasi pendanaan oleh desa. Modus seperti ini banyak dilakukan karea relatif tersembunyi. Karena itulah APBDes harus terbuka agar seluruh warga bisa melakukan pengawasan atasnya.
Meminjam sementara dana desa untuk kepentingan pribadi namun tidak dikembalikan. Ini juga sangat banyak terjadi, dari mulai kepentingan pribadi hingga untuk membayar biaya S2.
Budaya ewuh-prakewuh di desa menjadi salahsatu penghamat pada kasus seperti ini sehingga sulit di antisipasi. Pungutan atau pemotongan dana desa oleh oknum pejabat kecamatan atau kabupaten. Ini juga banyak terjadi dengan beragam alasan. Perangkat desa tak boleh ragu untuk melaporkan kasus seperti ini karena desa-lah yang paling dirugikan.
Membuat perjalanan dinas fiktif kepala desa dan jajarannya. Banyak kasus perjalanan untuk pelatihan dan sebagainya ternyata lebih ditujukan utuk pelesiran saja. Pengelembungan (mark up) pembayaran honorarium perangkat desa.
Jika modus ini lolos maka para perangkat desa yang honornya digelembungkan seharusnya melaporkan kasus seperti ini. Soalnya jika tidak, itu sama saja mereka dianggap mencicipi uang haram itu.
Pengelembungan (mark up) pembayaran alat tulis kantor. Ini bia dilihat secara fisik tetapi harus pula paham apa saja alokasi yang telah disusun.
Memungut pajak atau retribusi desa namun hasil pungutan tidak disetorkan ke kas desa atau kantor pajak. Pengawas harus memahami alur dana menyangkut pendapatan dari sektor pajak ini.Pembelian inventaris kantor dengan dana desa namun peruntukkan secara pribadi.
Lagi-lagi ewuh prakewuh menjadi salahsatu penghambat kasus seperti ini sehingga seringkali terjadi pembiaran Pemangkasan anggaran publik kemudian dialokasikan untuk kepentingan perangkat desa.
Publik harus tahu alokasi pendanaan dana desa agar kasus ini tidak perlu terjadi Melakukan permainan (kongkalingkong) dalam proyek yang didanai dana desa. Bisa ditelusuri sejak dilakukannya Musyawarah Desa dan aturan mengenai larangan menggunakan jasa kontraktor dari luar.
Membuat kegiatan atau proyek fiktif yang dananya dibebankan dari dana desa. (*).
Editor : A. Lolo.