MEDIA SELAYAR. Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Haryomo Dwi Putranto mengungkapkan pelanggaran netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) terbanyak di Indonesia berada di wilayah kerja Kantor Regional IV BKN Makassar.
Regional IV BKN Makassar sendiri meliputi 5 (Lima) provinsi, antara lain Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, dan Maluku.
“Kebetulan memang pelanggaran terbanyak itu di Kanwil IV (BKN) Makassar,” kata Haryomo saat menghadiri Rakor Pembinaan Manajemen ASN Melalui Pengawasan dan Pengendalian se-Wilayah Kerja Kantor Regional IV BKN Makassar, di Hotel Claro Makassar, Kamis (16/5/2024) dikutip dari fajar.co.id.
Haryomo mengatakan itu tak terlepas dari wilayah kerja Kantor Regional IV BKN yang luas. Mencakupi lima provinsi dan 71 kabupaten dan kota. “Ini paling besar dari 1 sampai 14 (Regional BKN se Indonesia),” ucap Haryomo.
Haryomo pun menekankan netralitas kepada seluruh Aparatur Sipil Negara (ASN) khususnya yang berada di daerah. Pasalnya, ASN di daerah akan menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Serentak yang berlangsung pada November 2024 mendatang.
Meski tak merinci berapa persis jumlah pelanggaran netralitas ASN yang dimaksud, Haryomo mengatakan ada beberapa hal penyebabnya.
“Pertama memang ada intervensi kepala daerah menginginkan agar ASN mendukung calon yang akan maju nantinya sebagai kepala daerah,” jelas Kepala BKN, Haryomo Dwi Putranto.
Kondisi ini, kata Haryomi, membuat para ASN dilematis. Ketika mendapat tekanan dari kepala daerah karirnya terancam, namun di sisi lain jika menurutinya artinya melanggar regulasi.
“Khawatirnya nanti ketika ada yang terpilih ada konsekuensi terhadap karir. Tapi jika mereka terlibat mendukung salah satu calon itu jelas melanggar regulasi yang berlaku,” katanya.
Maka dari itu, Haryomo mengatakan pemerintah Pusat telah mengeluarkan Surat Edaran Bersama (SEB) dari Menteri Dalam Negeri, Menteri PAN-RB, Bawaslu, KASN untuk melindungi karir ASN, khususnya di daerah.
Supaya, para ASN ini menjalankan tugasnya dengan fokus tanpa adanya tekanan politik. "Kasus sering terjadi, banyak pejabat yang melakukan pemberhentian ASN dan PNS tanpa melalui prosedur," ucap Haryomo. (*).