MEDIA SELAYAR. Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan menggelar Diskusi Publik dengan tema "Stereotipe Politik Pulau dan Daratan Selayar", bertempat di Cafe Demokrasi Warkop Tanadoang, Jl. S. Parman, Benteng Selatan, pada Sabtu (22/6/2024) malam.
Hadir dalam kegiatan tersebut Wakapolres Kepulauan Selayar Kompol H. Bustan, S.H., Kajari Selayar, Hendra Syarbaini, Komisioner KPU dan Bawaslu, LO Bapaslon Perseorangan, Camat, Ketua / Pimpinan Organisasi Kepemudaan (OKP), Mahasiswa serta undangan lainnya.
Koordinator Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, Parmas dan SDM KPU Kepulauan Selayar Muhammad Arsat, menerangkan bahwa realitas stereotipe politik pulau dan daratan merupakan hal yang lumrah dalam dunia perpolitikan di Kepulauan Selayar. Bahkan, katanya, dibeberapa momentum pertarungan politik pada Pilkada sebelumnya, dikotomi ini selalu terbangun dan menjadi bagian dari alat kampanye masing-masing Calon peserta Pilkada.
"Dalam beberapa tahun bahkan hingga sekarang stereotipe atau dikotomi ini juga bahkan telah merasuki dunia kepemudaan di Kepulauan Selayar. Karenanya, dengan alasan itu kemudian, kami (KPU, red) mengangkat tema itu untuk menjadi bahan renungan, masih relate kah issu tersebut dengan kondisi saat ini," terang Muhammad Arsat.
Lanjut, dia menjelaskan stereotipe pada dasarnya adalah mencoba mengambil sesuatu untuk dibesarkan. Misalnya, apakah orang yang dianggap memiliki kekuatan politik yang kuat itu, dianggap sebagai kuat atau diartikan lemah. "Sehingga kalau dia lemah, maka dia akan mencoba memperkuat dengan stereotipe dan diberi pelebelan tertentu, kata Arsat.
Pelebelan ini kemudian, lanjut dia, pasti akan muncul dalam Pilkada. Terbukti, saat ini publik sudah melihat adanya bakal calon (bacalon) bupati yang akan maju dalam Pilkada Kepulauan Selayar tahun 2024 sudah mulai melakukan pencarian wakil bupati.
Dalam pencarian bakal pasangan calon bupati dan wakil bupati tersebut, sudah mulai ada pertautan antara pulau dan daratan. Tentunya ini hampir sama dengan realitas politik di beberapa pertarungan politik pada pilkada sebelumnya, ungkapnya.
"Tapi pada dasarnya apakah stereotipe antara pulau dan daratan itu adalah realita yg subtantif? Tidak. Menurut saya dia adalah realitas prosedural. Sebab, pada dasarnya demokrasi tidak berbicara dikotomi, melainkan demokrasi itu berbicara soal penyatuan dan persamaan dari perbedaan suku, ras dan golongan. Demokrasi di Selayar tidak boleh hanya berbicara tentang pulau dan daratan, tetapi demokrasi itu harus berbicara tentang ide dan gagasan, termasuk visi dan misi bakal calon peserta Pilkada agar kedepannya kehidupan masyarakat menjadi lebih baik," jelas Acat akrab ia disapa.
Sementara, Komisioner Bawaslu Kepulauan Selayar Azmin Khaidar memandang stereotipe antara pulau dan daratan ini sebagai politik identitas. Dan hal tersebut, tentu menjadi salah dari fokus pengawasan Bawaslu.
"Kendati tidak ada regulasi yang mengatur secara eksplisit terkait politik identitas atau stereotipe dan atau dikotomi ini, akan tetapi Bawaslu menaruh perhatian lebih terhadap hal ini," jelas Azmin Khaidar.
Alasannya jelas, bahwa ketika politik identitas ini digunakan oleh para kandidat calon bupati atau para pendukungnya ketika melakukan kampanye nantinya untuk mendiskriminasi, menghina menghasut dan mengadu domba masyarakat, maka Bawaslu tentu akan melakukan penindakan karena hal tersebut merupakan bagian dari larangan kampanye yang ada di dalam regulasi, ungkapnya.
Begitupun sebaliknya, ketika bapaslon atau pendukungnya melakukan politik kebencian, menyerang dan menghina bacalon lainnya tentu akan menjadi potensi atau memicu kerawanan terjadinya konflik diantara para pendukung.
Untuk itu, para penyelenggara baik KPU dan Bawaslu, pemerintah dan pihak keamanan memiliki tugas dan tanggung jawab untuk mengawal proses demokrasi Pilkada Kepulauan Selayar 2024 ini dengan membangun sinergitas dan kolaborasi yang kuat untuk meminimalisir terjadinya konflik-konflik di masyarakat.
Kemudian, Rahmat Zaenal yang diundang dalam kapasitasnya sebagai Budayawan Selayar, mengatakan bahwa stereotipe politik antara pulau dan daratan ini bukan atau tidak lagi menjadi issu strategis untuk digunakan saat ini.
Dalam perspektif budaya, dia menjelaskan bahwa jika ditilik dari pola persebaran penduduk secara geografis di wilayah-wilayah pulau di Kepulauan Selayar, maka akan didapati orang-orang yang saat ini berdomisili di Selayar kepulauan itu masih memiliki hubungan kekerabatan dengan penduduk yang berdomisili di dataran Pulau Selayar.
Sebagai contoh, kata dia, di Pulau Kayuadi rata-rata masyarakatnya merupakan keturunan orang Pulau Selayar bagian utara dan selatan. Begitupun dengan masyarakat pulau-pulau lainnya, seperti pulau dalam kawasan Taman Nasional Taka Bonerate yang didiami oleh Suku Bugis dan Suku Bajo, Pulau Jampea (Selayar dan Suku Bugis), Pulau Bonerate dan Pulau Kalao, (Suku Buton dan Suku Bajo), Pulau Kalao Toa, dan sekiranya yang rata-raya didiami oleh Selayar, Suku Bugis, Suku Bajo, dan Suku Buton.
Pada dasarnya masyarakat dengan latar belakang suku yang berbeda itu telah hidup dalam akulturasi budaya dalam membangun peradaban dan menjalani proses kehidupannya sehari-hari.
"Karena itu, saya justru tidak melihat adanya dampak dari stereotipe politik antara pulau dan daratan terhadap budaya, demokrasi dan partisipasi pemilih di Pilkada 2024 nanti," ungkap Rakhmat Zaenal.
Untuk itu, dia pun mengajak kepada masyarakat khsususnya kepada para pemuda untuk lebih produktif dan tidak hanya berinteraksi dengan kelompok dan kalangannya sendiri. Karena saat inilah waktunya, dengan bonus demografi Indonesia mampu mengguncang dunia. Dimana rata-rata penduduk Indonesia yang saat ini berusia antara 15 sampai 23 tahun mencapai 72 % penduduk Indonesia.
"Untuk anak-anak muda, mari kita bersama-sama menyambut demokrasi ini dengan lebih dewasa, memberi pencerahan keapda masyarakat dan mencari pemimpin yang lebih baik. Apapun pilihan politik kita, pada akhirnya kita akan berbicara tentang Kepulauan Selayar 5 tahun kedepan," tutup Rakhmat Zaenal.
Selanjutnya, Yanuar Taufiq selaku akademisi menyampaikan hal yang senada dengan Rakhmat Zaenal, bahwa issu stereotipe politik dan pulau daratan Selayar tidak pernah ada dan tidak akan pernah laku untuk dijual dalam konteks politik di Kepulauan Selayar.
Dia mengatakan meskipun ada pihak yang akan menggunakan issu stereotipe politik antara pulau dan daratan Selayar ini, maka hal itu tidak akan memberikan dampak dan pengaruh yang signifikan terhadap dunia perpolitikan di Kepulauan Selayar, khususnya dalam Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kepulauan Selayar yang akan dilaksanakan pada 27 November mendatang.
"Karena sesungguhnya dikotomi pulau dan daratan tidak pernah ada, dan hanya muncul atau berhembus pada saat menjelang Pilkada," terang Yanuar Taufiq. (Tim).